Utang Negara menjadi hal seksi untuk dipolitisasi. Berbagai pihak pun membahas terkait utang negara. Dari obrolan di warung kopi, media sosial semacam Facebook dan Twitter, hingga grup-grup WhatsApp emak-emak, utang negara jadi perbincangan dan topik yang menarik. Berbagai profesi dan latar belakang pendidikan pun tak luput membahas utang negara, ada dokter, ada tukang parkir, ada tukang becak, hingga emak-emak ibu rumah tangga.
Ada yang membahas utang negara karena memang memiliki pengetahuan dan kompetensi yang sesuai, dilengkapi dengan data-data terkini. Ada yang secara pendidikan dan pekerjaan harusnya paham tentang utang negara, namun membahas utang seenaknya saja, dipelintir, data seadanya bahkan tanpa data. Ada yang membahas utang negara dengan semangat nyinyir saja dengan berbekal informasi katanya dengan data tidak akurat bahkan hoaks. Dan sebagainya.
Di era reformasi saat ini di mana kebebasan berpendapat begitu terbuka, semua pihak memang boleh saja membahas utang negara.
Tidak seperti zaman Orde Baru (ORBA) dulu, di masa kekuasaan Presiden Soeharto, di mana yang mengkritik pemerintah atau negara (apalagi yang nyinyir, menghina, dan menyebarkan fitnah-hoaks) akan mendapatkan konsekuensi atau nasib yang buruk berhadapan dengan aparat negara bahkan ada yang dihukum tanpa proses yang normal dan transparan.
Namun demikian, alangkah baiknya jika kebebasan berpendapat digunakan secara bermartabat dan bertanggungjawab. Pendapat harus dilandaskan dengan ilmu pengetahuan, informasi yang valid dan kredibel, data yang akurat dan terbaru.
Pendapat yang demikian akan bermanfaat menambah pengetahuan dan wawasan, jika merupakan kritik maka merupakan kritik membangun yang memberi petunjuk, alternatif dan solusi untuk kebaikan bersama, khususnya bagi kemajuan negara.
Terkait pembahasan soal utang negara, tolonglah memperhatikan beberapa hal yang sangat penting agar bisa fokus, tidak salah arah, dan tetap dalam koridor pendapat yang bermartabat dan bertanggungjawab.
1. Utang, BUKAN Hutang
Masih banyak yang menggunakan kata "hutang". Mungkin karena kebiasaan atau bahkan tidak tahu bahwa kata yang benar adalah "utang", tanpa menggunakan huruf "H".
Utang menjadi kata penting dalam hubungan antara yang meminjam dengan yang memberi pinjaman. Yang meminjam adalah pihak yang memiliki utang dan yang memberikan pinjaman pinjaman adalah pihak yang memiliki piutang.
Secara Bahasa Indonesia, objek dalam hubungan pinjam meminjam ini menggunakan diksi "utang piutang". Jika yang digunakan adalah kata "hutang", maka menjadi "hutang pihutang". Secara penyebutan menjadi kurang enak didengar, apalagi secara standard Bahasa Indonesia yang benar adalah utang piutang.