Mohon tunggu...
Ari Ambarwati
Ari Ambarwati Mohon Tunggu... -

Pengajar, peneliti dan peminat sastra anak, suka blusukan ke pasar tradisional, penikmat kuliner dan wastra tradisional Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Curhat Jeng Ambar: Daster Oh Daster

31 Oktober 2009   12:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Daster van Milan

Siapa yang mampu menandingi ketenaran daster?daster adalah pakaian perempuan paling populer di Indonesia. Bentuknya yang simple dan longgar membuat perempuan Indonesia kepincut berat dengannya. Mereka yang teranggap high class women, socialite, pesohor, selebritis—atau apa saja asal itu merujuk pada perempuan kalangan atas—pun pasti punya daster di lemarinya.

Tentu saja daster mereka tak apek pun tak bolong di sana-sani. Pasti wangi. Terbuat dari kain kerap yang seratnya tak gampang tercerabut dan berserabut layaknya daster murah bin meriah made in pasar Klewer, Kapasan maupun Beringharjo. Daster mereka mungkin lebih mirip kimononya perempuan Jepang. Tak jarang kimono-daster itu mereka pesan khusus dari perancang beken langganan mereka. Yang limited edition, alias edisi khusus dan terbatas. Maksudnya: dibuat satu, tak ada kembaran model dan motif bahan kainnya. Meski hanya dikenakan ketika akan tidur, kimono daster mereka tak bakal ada yang menyamai.

Bagi perempuan-perempuan kelas atas seperti mereka, jangankan untuk ke kantor, hang out dan plesir ke negara manca, pergi ke alam mimpi saja harus ada dress code nya. Bukan asal berpakaian ataupun berpenampilan. Tak jarang mereka rela berburu kain-kain mahal hingga ke pusat-pusat mode dunia seperti Milan di Italia, Prancis dan Amerika Serikat. Keluar masuk butik-butik mahal, demi memuaskan keinginan beroleh selembar kain yang bakal menemani mereka travelling ke alam mimpi. Bukankah tidur nyenyak van pulas juga menentukan kualitas tidur mereka? Bukankah kualitas tidur juga alat takar yang pas untuk melihat betapa bahagia dan sentosa hidup mereka? Bisa tidur pulas itu kenikmatan, Bisa mimpi asyik hingga tersenyum dalam tidur juga barang mahal, Tidur hingga meneteskan liur di bantal adalah kenikmatan tak terperi. Demikian dalih nyonya-nyonya, nona-nona, ibu-ibu dan oma-oma yang sentosa secara materi.

Coba bayangkan, tak sedikit dari mereka yang terkena sindrom tak bisa merem nyaman alias insomnia, alias susah tidur. Kalau sudah begitu, dokter-dokter dan rumah sakit bertaraf internasional menjadi incaran mereka. Tak berhitung berapa rupiah ataupun dollar Singapura—kalau mereka terbiasa berobat ke negeri tetangga itu—yang keluar dari dompet, eh ATM mereka. Terpenting adalah bisa tidur pulas hingga ngiler.

Nah sekarang siapa bilang jadi perempuan sentosa itu mudah mendapatkan segala-galanya?Tidur saja mereka harus beli, jeng. Jadi gak ada gunanya kan memelihara iri dan dengki kepada mereka? Bisa jadi bisnis yang mereka jalankan dan profesi yang mereka lakukan membuat mereka gampang tergampar stress. La kalau stress, mereka jadi susah tidur. Kalau susah tidur, tentu tak baik untuk performance mereka. Apalagi yang profesinya harus selalu bertemu dengan klien dan orang banyak. Ujung-ujungnya, mereka juga wajib berburu dokter dan klinik kecantikan!. La iya to, mereka kan harus mendempul kisut-kerut di muka yang mulus akibat kelelahan tak mampu memejamkan mata dengan nikmat. Harus bolak-balik klinik untuk suntik Botox (botolinum toxin) atau bahkanoperasi menghilangkan kantung mata, diikuti dengan perawatan pasca operasi yang mengharuskan membeli botol-botol berisi ramuan ajaib nan mahal yang mampu menghadang kedatangan kerut di seputar mata. Walah, ribet ya jeng?

Nah kembali ke daster lagi. Jadi, jangan heran, iri,dengki, maupun sakit hati kalau mereka yang dia atas tak mau pakai daster murah buatan konfeksi dalam negeri yang kodian itu. Mereka harus terus menjaga image penampilan bagus mereka di dalam maupun di luar rumah. Dan itu tak mereka temukan di daster-daster yang dijual di pasar-pasar tradisional. Artinya lagi, daster-daster itu tak mewakili kepribadian mereka sebagai perempuan yang sadar fashion. La kalau sudah dipakai orang banyak, apa bedanya daster saya dengan daster orang kebanyakan? Memangnya seragam apa, kok dipakai orang banyak? Sekali lagi, jangan salah sangka, mereka hanya ingin apa yang mereka kenakan tak dikenakan orang lain. Kalau sama, apa bedanya saya dengan orang kebanyakan? Begitu kira-kira yang terlintas di kepala mereka, jeng.

Daster binti Klewer

Ini masih tentang daster. Tetapi ini tentang daster yang dikenakan orang banyak. Orang kebanyakan seperti sampeyan dan saya. Percayalah, jika diadakan jajak pendapat alias polling, tentang pakaian apa yang paling nyaman dikenakan perempuan Indonesia di rumah, jawabannya pastilah daster. Model pakaian ini, entah kapan mulainya, sudah menjadi pakaian wajib di rumah untuk banyak perempuan. Kalau ditanya alasan mengapa memilih daster, bisa ratusan jawabannya. Tetapi rasanya kita sepakat kalau harga murah adalah salah satu alasannya. Dengan uang lima puluh ribu rupiah, jika kita bertandang ke pasar Klewer, Bringharjo, Kapasan, atau pasar-pasar tradisonal lainnya di negeri ini yang menjual konfeksi kodian, maka kita bisa dapat dua sampai tiga model daster. Bisa yang model baby doll, long dress maupun semi kimono. Murah kan?

Bagi sebagian perempuan, daster bukan sekedar pakaian rumahan. Ia juga kerap menjelma menjadi pakaian untuk pergi ke pasar maupun warung untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Bagi banyak bakul di pasar Tembok Surabaya, pasar Dinoyo Malang dan mungkin pasar-pasar tradisional lain di negeri ini, daster juga tak jarang disulap sebagai pakaian kerja untuk berjualan. Bagi yang berkerudung, daster long dress yang berlengan panjang dan menjuntai hingga mata kaki, sudah memadai untuk menutup aurat. Meski terkadang bolong di bagian, maaf, ketiak. “Isis,” katanya. Alias adem.

Bagi mereka yang berpikir sederhana—saking sederhananya hingga tak risi sekalipun bertandang ke rumah tetangga dengan daster sebagai pakaian kebesaran—daster adalah pakaian yang layak pakai. Bagi bakul (penjual—bhs Jawa) bahasanya seperti ini. Kami berjualan di pasar tradisional yang becek kalau hujan, selalu kotor bin kumuh dan tak berpendingin udara alias AC, maka pakaian yang paling nyaman dikenakan ya dasterlah. Kami setiap hari kebanyakan berinteraksi dengan sesama bakul, kuli angkut, pembeli yang kebanyakan kalangan menengah ke bawah, tukang becak, pengamen, pengemis, preman, tukang parkir dan sederet profesi informal lainnya yang tak menuntut kami harus berpakaian layaknya pekerja kantoran. Yang penting dasternya tak sobek di bagian yang seharusnya memang ditutup, tak apalah. Karena mencari uang bagi mereka tak ada urusannya dengan penampilan. “La jualan kami terasi, ikan asin, ikan teri, ikan segar yang masih bau amis, arang, abu gosok dan sebagainya, ya rugi kan kalau kami memakai pakaian rapi seperti pekerja kantoran. Toh, sebelum pulang dari pasar, kami tetap akan bergumul dengan macam-macam bau-bauan khas pasar tradisional.”

Jadi, ibu, nyonya,nona dan oma yang di atas sana tak perlu memicingkan mata, mengejek pun memandang sebelah mata mereka yang mengenakan daster sebagai pakaian kerja mereka sehari-hari. Mereka perempuan-perempuan yang menjalankan geliat roda bisnis, alias business women, tak beda dengan Anda yang juga menjalankan roda bisnis. Hanya tempat dan rupiah yang dihasilkan saja yang berbeda. Anda dan pemakai daster made in Klewer adalah perempuan-perempuan hebat yang mampu mendulang rupiah dengan bisnis yang dijalankan. Bisnis yang bisa memberikan pekerjaan pada orang lain, bisnis yang mampu memberikan ekstra rupiah bagi perempuan lain dan akhirnya banyak mulut mampu disuapi, disekolahkan dan dibuat menjadi orang pintar karenanya. Bisnis yang luar biasa terhormat karena tak perlu mencuri uang rakyat layaknya mereka yang wira-wiri disidang di pengadilan Tipikor dan menjadi komunitas selebritis baru, pesaing artis maupun penyanyi yakni koruptor. Hebat tidak, jeng?

Pelajaran pertama: never judge ladies by its daster, maksudnya jangan pernah menilai orang dari daster—baca: pakaian—yang dikenakannya ya Jeng, mas, pak


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun