Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jomlo dan Kalaalah

17 November 2016   05:39 Diperbarui: 27 November 2016   07:49 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: berbagaigadget.com

Mengapa saya menulis ini? Karena saya pernah menjadi anggota IPTN (ikatan ‘pemuda’ telat nikah). Jadi, tulisan ini bukan bermaksud ngaléléwé (Sunda: mengejek) Sob Kompasianer yang belum nikah (sinonim dalam UU kita ‘kawin’). Justru semoga menjadi stimulan Sob untuk segera nikah.

Mengapa harus segera menikah? Karena diwajibkan Tuhan untuk menikahkan yang sendirian di antara kita (QS 24: 32; lihat juga QS 4: 25 dan QS 4: 3) serta tuntutan seluruh elemen jiwaraga kita (add. doktrin Islam: menikah itu sunnah Nabi). Testimoni saya yang dangkal ini, menikah itu menenangkan hati bahkan merasa sempurna sebagai laki-laki, apalagi ketika menjadi ayah. Mungkin, bagi perempuan, merasa sempurna sebagai wanita karena bisa melahirkan anak, apalagi menjadi ibu.

BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) gencar mensosialisasikan menikah itu di atas usia 25 tahun bagi pria dan di atas 20 tahun bagi wanita. Kita setuju, secara fisik, alat reproduksi pria dan wanita sudah matang-kuat; serta secara psikis, sudah siap membangun mahligai keluarga dan menghadapi pancaroba kehidupan. Nah, jika ‘terlalu’ lebih dari usia itu dan belum menikah juga, kita mengenal istilah ‘jomlo’ atau sering diucap-tulis 'jomblo'.

Menurut KBBI, ‘jomlo’ itu gadis tua. Namun, setahu saya, kata ini berlaku juga bagi laki-laki, sehingga makna ‘jomlo’ sekarang berarti perempuan atau laki-laki ‘dewasa’ yang belum nikah. Sinonimnya ‘bujang’ (membujang).

Selain itu, saya menemukan istilah ‘kalaalah’, yakni orang mati yang tidak meninggalkan bapak dan anak (Muhammad Shohib dkk, 2010: 139) alias tidak memiliki keturunan; bahkan saya punya buyut kalaalah sehingga menjadi masalah keluarga, padahal Quran sangat jelas soal waris kalaalah ini (QS 4: 176).

Dewasalah

Mungkin, kata kunci untuk segera menikah adalah ‘dewasa’. Secara keratabasa, dewasa itu ‘dewa manusia’. Pemahaman saya, dewasa itu yang mau bertanggung jawab, apalagi jika usia kita di atas 30 tahun. Ya, dalam rentang kehidupan kita, ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam setiap fase hidup kita seperti pada masa kanak, remaja kita dst.


Mengingat dewasa (baligh) menurut doktrin Islam, yakni 15 tahun bagi laki-laki atau sudah mimpi basah dan 9 tahun bagi perempuan atau sudah haid; ini menunjukkan bahwa kewajiban agama sudah berlaku di usia kanak. Artinya, jika misalnya tidak shalat, maka berdosa alias dosa tidak shalat ditanggung sendiri oleh anak—tentu sebelumnya orang tua telah melaksanakan kewajiban mendidik anak untuk shalat.

Begitupun jika tidak menikah, menurut doktrin Islam (Quran dan Hadis), berdosa karena mengingkari ‘nikmat’ dari Tuhan; dan saya pikir hidup kita ‘tak seimbang’—hm, seperti judul lagu Geisha feat. Iwan Fals—karena kebutuhan jiwaraga (rohani dan jasmani) kita tidak terpenuhi.

Untuk menikah, konon, ada 4 (empat) yang harus dipersiapkan, yaitu: (1) kematangan emosional; (2) kematangan sosial; (3) kemandirian sikap dan prinsip; serta (4) kemandirian finansial. Wah, kayaknya berat dan ribed. Kita mah pede saja, tinggal ‘mau’ dewasa saja; percayalah pada diri-sendiri karena seiring bertambahnya usia (baca: berkurangnya jatah hidup), kita telah memiliki definisi hidup, kita telah banyak relasi, dan kita telah ‘tahu’ masa depan kita. Jangan khawatir dengan rizki (rezeki) kehidupan berkeluarga. Justru dengan menikah akan menambah silaturahmi, akan menambah relasi, akan membuka pintu rizki!

Memang dewasa faktor ‘u’ (umur) itu bukan jaminan, namun setidaknya lingkungan sosial kita telah memberi posisi sesuai kadar ‘u’ kita. Jika tidak, berarti kita belum memfungsikan diri kita sesuai ‘u’ kita. Nah ini trouble, ada masalah dengan fase dewasa kita, yakni kita belum menjalankan kewajiban sesuai fase dewasa kita. So grow-up, hidup ini tidak abadi, Sob!

Niat Ibadah

Sekadar reminding, di usia 25 tahun, saya merasa puncak bugar; di usia 35, jogging dikit mulai rempo (Sunda: payah); dan di usia 45, badan mulai ngilu di sana-sini. Ya, Sob, tubuh kita punya enduro alias bakal ngalamin degeneratif/senilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun