Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dua Puluh Sembilan Hari Menuju Headline

7 November 2016   06:55 Diperbarui: 7 November 2016   12:48 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pepih Nugraha. Nyaris mendekati satu dekade aku mengetahui dan mengingat di dalam memori nama itu. Dan hampir tidak banyak hal yang bisa kuungkapkan jika aku diminta untuk menjelaskan secara detail perihal nama itu, kecuali satu: KOMPAS. Meskipun begitu, jika aku diminta untuk mengaitkan nama itu dengan satu nama lagi, Zhaffran Nugraha Putra Munggaran, maka dengan senang hati aku akan menceritakan seluk beluk hal yang berhubungan dengannya, terutama saat-saat ia, Zhaffran, bersekolah di level sekolah menengah pertama.

Zhaffran adalah putra dari Bapak Pepih Nugraha: sosok penting di balik industri informasi dunia maya kompasiana. Meski belum pernah melihat dan mengenal sosok beliau, aku bersyukur pernah berkesempatan untuk mendampingi Zhaffran menuntut ilmu selama bersekolah di sebuah sekolah swasta bernuansa Islam di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Ia dikenal sebagai sosok yang pintar, santun, ramah, dan murah senyum. Sedemikian populernya, sehingga Zhaffran pun sempat mengenyam dua kursi panas sekaligus: sebagai Ketua OSIS dan ketua angkatan tujuh: ZEVENDEVERSA.

Enam bulan lalu, saya memutuskan untuk membuat akun di kompasiana. Keputusan itu seiring dengan hasrat untuk dapat berbuat dan bermanfaat bagi lebih banyak orang. Niat itu berawal saat aku menuntaskan naskah untuk buku pertamaku, “Cherish your Marriage”. Buku ini lebih merupakan dokumentasi perjalanan selama tahun-tahun pertama pernikahanku. Sudah puluhan email aku kirimkan ke alamat redaksi baik di Ibu Kota maupun di kota besar lainnya seperti Bandung, Semarang, Surabaya, atau Yogyakarta. Dan tentu di bagian subjek email selalu terterakan: permohonan penerbitan naskah.

Enam di antara puluhan surel itu memberikan respons yang senada: kami belum bisa menerbitkan naskah. Dalam kegamangan itulah alur hidup kemudian seperti mengarahkan secara nirlogis pada sebuah leksem kompasiana. Aku akhirnya memutuskan untuk mendaftarkan diri dan kini kemudian benar-benar memiliki satu “rumah” baru di dunia maya. Aku kemudian mengunggah sebuah artikel dari salah satu isi naskah buku sebagai pembuka untuk menunjukkan kepada warga dunia bahwa aku ada.

Perkenalanku dengan kompasiana membuka jalan ke dimensi berikutnya. Ternyata ada banyak kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh kompasiana. Dan salah satu syarat di antaranya adalah kewajiban untuk mengunggah tulisan yang dilombakan ke akun kompasiana. Hal ini menjadikanku semakin lebih intens berinteraksi dengannya: mencari tahu, menuliskan, mengirimkan, dan terus berdoa semoga dapat memenangi kompetisi yang dilombakan.

Perlahan, jumlah tulisan yang kuunggah semakin bertambah. Intensitas unggahan pun semakin meningkat di satu bulan terakhir. Tulisan yang aku unggah juga semakin beragam, tidak lagi berasal dari naskah buku yang sudah kuselesaikan tetapi juga dari naskah artikel yang aku sertakan dalam perlombaan. Aku juga mulai memiliki kebiasaan baru memantau jumlah pembaca yang telah membaca artikelku. Ada kepuasan batin yang dalam saat angka-angka keterbacaan itu terus meningkat. Tak kalah pula ada pembelajaran yang berharga saat satu di antaranya kemudian justru dihapus oleh admin kompasiana.

Santiago. Ya, aku mencoba menikmati proses perjalanan menulisku laiknya Santiago dalam The Alchemist-nya Paulo Coelho. Harapan akan naskah yang benar-benar terbit lalu terpajang di rak-rak toko buku terkemuka di Tanah Air atau di halaman beranda situs online, dan harapan akan artikel yang menjadi favorit dan diperbincangkan di berbagai media cetak dan elektronik, bagiku serasa menemukan bongkahan emas, setelah berhari-hari menggali tanah, yang menjadi impian Santiago. Santiago telah memberi pelajaran berharga bahwa tujuan hidup itu adalah utama namun kemampuan untuk menikmati proses meraih tujuan itulah esensi kebahagiaan yang sesungguhnya.

Melalui inisiatif istriku, ia menyarankan agar aku membagikan tautan alamat tulisanku ke orang-orang terdekat di lingkungan keseharianku: keluarga inti, teman kerja, dan komunitas yang aku ikuti. Ini seolah memberiku penguatan dan penyadaran: bukankah niat awal adalah untuk menjadi orang yang lebih bermanfaat bagi lebih banyak orang? Tanpa menghitung dan menunggu waktu berlalu, aku segera memanfaatkan jejaring perkenalanku. Dimulai dari keluarga besar, kemudian rekan kerja, keluarga alumni dari murid-murid yang pernah aku bimbing, orang tua murid, dan komunitas profesional.

Saat waktu berlalu, saat ini tiada momen yang lebih indah untuk diungkapkan selain saat aku menerima balasan pesan bertemakan: terima kasih, hebat,atauinspiratif. Hal itu seperti menerima basalan surel dari redaksi media massa yang pesan intinya, “Ya, naskah Anda bagus, kami akan menerbitkannya.” Adalah kebahagiaan tak terkira saat mereka, orang-orang yang dekat dalam kehidupanku, menyatakan telah menerima butir-butir pemikiranku ke dalam ingatan mereka, membagikannya kembali ke orang-orang di sekitar kehidupan mereka, dan yang lebih penting lagi adalah mengamalkannya.

Hingga suatu ketika, Kamis pagi itu aku berniat mengunggah satu artikel terbaru. Saat aku membuka laman depan kompasiana, aku terperangah melihat artikelku “Menjadikan Website sebagai Terminal Pembelajaran” masuk ke dalam kategori headline dan ditampilkan dalam bentuk slider di tampilan depan kompasiana. Sebuah karunia besar. Tak urung, “Serangan Fajar” pun kembali kugelorakan. Aku mengirimkan tautan halaman artikel itu ke orang-orang di sekitarku. Dan tentu dengan sisipan pesan: masuk ke dalam kategori headline kompasiana. Efek viral pun menjelma. Beberapa orang di antaranya memutuskan untuk mengirimkan kembali tautan halaman tersebut ke orang-orang di sekitar mereka, terutama keluarga dan rekan kerja.

Ini adalah artikel kesembilan yang pernah aku unggah semenjak awal Oktober. Sekaligus hari kedua puluh sembilan interaksi intensifku dengan kompasiana. Aku menyadari ada puluhan, ratusan, ribuan, dan bahkan mungkin puluhan ribu kompasianer di luar sana yang juga aktif mengirimkan tulisan. Meski dalam hitungan hari, aku bersyukur mendapat kesempatan untuk mencetak headline, terlebih di dalam momen spesial 8 Tahun Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun