Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari China, Singapura, dan Malaysia

3 Oktober 2014   16:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:32 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada tahun 1980-an, pemerintah China mengeluarkan kebijakan pelarangan memiliki anak lebih dari satu. Ini karena pemimpin negara beserta para pembantunya sudah sangat terdesak untuk menahan laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol.

Pemerintah membatasi masyarakat perkotaan untuk memiliki anak lebih dari satu, dan dua anak bagi masyarakat pedesaan jika anak sulungnya adalah perempuan. Siapapun yang melanggar aturan ini akan dikenakan biaya besar, penyitaan properti sampai ancaman kehilangan pekerjaan.

Larangan yang dianggap baik tersebut rupanya mengandung resiko. Sehingga yang terjadi adalah buruknya regenerasi dan tidak seimbangnya rasio jenis kelamin. Generasi tua mendominasi di segala bidang pekerjaan dan industri, sementara generasi muda sangat sulit ditemui. Jumlah lelaki juga menjadi lebih banyak karena masyarakat menghindari melahirkan anak perempuan dengan segala cara, termasuk salah satunya adalah aborsi.

Pada tahun 2013, larangan tersebut dicabut karena pembatasan yang ketat dianggap berpotensi merusak pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut kemudian disetujui oleh mayoritas parlemen.

Hal ini juga terjadi pada negara tetangga kita, Singapura. Pada tahun 1960-an, pemerintah sangat mengkhawatirkan ledakan penduduk dan bisa mengancam stabilitas negara dari segi ekonomi dan pembangunan.

Pemerintah memberikan hukuman bagi keluarga besar, melegalkan aborsi serta menghadiahi sterilisasi. Dengan slogan "stop pada dua anak" program tersebut berjalan sangat efektif sehingga angka pertumbuhan benar-benar menurun. Singapura kemudian menjadi negara dengan tingkat kesuburan paling rendah di dunia.

Persis seperti China, Singapura kemudian dihadapkan pada beberapa masalah stabilitas negara dan jauh lebih mendesak daripada China. Pemerintah kemudian mensponsori kampanye perjodohan dan peningkatan kesuburan. Slogan "stop pada dua anak" kemudian diubah menjadi "miliki tiga anak, atau lebih jika mampu" sejak tahun 1987.

Namun nasi sudah menjadi bubur, setelah bertahun-tahun sosialisasi dan kampanye secara massif, rupanya kebiasaan tidak memiliki anak dan nyaman dengan pola hidup seperti sebelumnya sudah terlanjur mendarah daging. Apa penyebabnya? Persis seperti beberapa atau kebanyakan masyarakat Indonesia yang tidak peduli dengan iklan BKKBN. Psikologi dasar manusia cenderung akan melakukan sesuatu yang diinginkan, tak peduli dengan apa yang dikatakan pemerintah. Maka tak jarang masyarakat kita dengan lantangnya bilang "anak, anak gue. Kenapa lu yang repot?!". Hal ini juga terjadi di Singapura dengan situasi terbalik. Yakni: ketika seseorang sudah nyaman tidak memiliki anak, maka apapun yang dikatakan pemerintah kita tidak akan begitu peduli.

Untuk menambal lubang permintaan dan kebutuhan yang sangat tinggi, sementara waktu pemerintah kemudian merekrut pekerja asing profesional guna membangun negaranya. Jika untuk merekayasa ekonomi negara tanpa sumberdaya itu mampu menjadi negara kaya di dunia, maka tidak sulit bagi Singapura untuk menarik orang asing untuk mau tinggal di negara kecil tersebut.

Namun lagi-lagi respon positif dari imigran profesional kemudian menimbulkan masalah baru. Singapura saat ini mendapat banyak kecaman dari beberapa ormas dan komunitas akibat jumlah pendatang asing yang sangat tinggi. Bagaimanapun dominasi pendatang asing harus segera dihentikan, untuk itu pemerintah Singapura kembali bereaksi dengan memberikan bonus kepada keluarga yang baru melahirkan anak.

Berbeda dengan China dan Singapura, Malaysia memiliki kebijakan yang jauh lebih efektif karena kontrol terhadap pertumbuhan penduduk tidak diterapkan secara ketat dengan aturan dan kebijakan yang akan membuat warganya terpaksa patuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun