Fauna endemik adalah hewan yang hanya ada di wilayah tertentu dan tidak terdapat di daerah lain walaupun ekosistemnya serupa.
Karena habitat hidupnya terbatas di daerah tertentu maka kepunahan hewan endemik berarti juga kepunahan untuk selama-lamanya dari muka bumi.
Salah satu hewan endemik yang diduga bakal terancam kelestariannya adalah kepiting Jacobson, Karstarma jacobsoni, berasal dari kawasan Geopark Gunung Sewu.Â
Kepiting yang hidup di gua-gua sungai bawah tanah ini bisa terancam hidupnya oleh pembangunan peternakan ayam seluas 20 hektar milik PT Widodo Makmur Unggas. Proyek yang terletak di Pacarejo, Kecamatan Semanu Gunung Kidul itu belum memiliki IMB dan AMDAL.
Menurut Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta, Halik Sandera, pencemaran dari limbah peternakan ayam berpotensi mengancam kehidupan kepiting Jacobson yang hidup tepat di kawasan bawah tanah lokasi peternakan itu.
Rembesan limbah peternakan --termasuk manusia yang mengelolanya-- dikhawatirkan akan terbawa air hujan dan mencemari sistem sungai dan gua bawah tanah yang menjadi habitat kepiting Jacobson.
Ada 3 sumber sungai bawah tanah di lokasi tersebut yaitu: sumber Bribin, Baron, dan satu sumber sungai yang belum bernama.
Kehidupan kepiting Jacobson di geoarea Gunung Kidul
Kawasan Geopark Gunung Sewu adalah area endapan gamping dengan luas 1.802 km persegi, kurang lebih 40.000 bukit karst (conical hills), dan jalinan gua serta sungai yang berada bawah permukaan tanah.Â
Gua dan sungai bawah tanah terbentuk karena daerah karst memiliki tanah dengan tingkat porositas yang tinggi sehingga air dari permukaan mudah meresap menembus pori-porinya.
Lokasi geopark kedua Indonesia setelah Geopark Gunung Batur ini  terbagi atas 3 geoarea yang berada di 3 kabupaten sekaligus 3 provinsi yang berbeda. Ketiga geoarea tersebut  berada di Pacitan di Jawa Timur, Wonogiri di Jawa Tengah, dan Gunung Kidul di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Walaupun Geopark Gunung Sewu merupakan satu kesatuan kawasan, kepiting Jacobson hanya hidup di gua bawah tanah yang berada di Kabupaten Gunung Kidul saja.
Asal mula nama Jacobson pada kepiting ini adalah untuk menghormati jasa penemu pertamanya yaitu Edward Jacobson, seorang naturalis Belanda.
Edward menemukan kepiting bermata kecil ini di Gua Jomblang dan Gua Ngingrong. Selain dari 2 gua tersebut, penelitian lanjutan menemukan jejak keberadaannya di Gua Bribin, Gua Gilap dan Gua Jurang Jero serta gua-gua lain di Kabupaten Gunung Kidul.
Sebagai hewan endemik, kepiting Jacobson memiliki beberapa keunikan yang membedakannya dengan kepiting jenis lain dari nenek moyang yang sama secara taksonomis. Perbedaan tersebut muncul sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan khusus.
Kondisi gua bawah tanah yang gelap serta sumber makanan terbatas memaksa hewan bercangkang ini menyesuaikan diri sehingga ciri fisik dan perilakunya selaras dengan lingkungan.
Perbedaan morfologi --bentuk tubuh luar-- yang mencolok pada kepiting Jacobson adalah tubuhnya yang berwarna pucat dan bentuk mata yang mengecil. Hal ini terjadi karena tanpa cahaya pigmen tubuh tidak terbentuk dengan baik. Penglihatan juga sulit bekerja atau bahkan tidak mampu sama sekali sehingga organ mata mengalami penyusutan.
Kondisi gua berdinding batu dengan lumpur di dasarnya membentuk sepuluh kaki kepiting Jacobson berkembang baik. Tungkai-tungkainya panjang dan kuat sehingga mampu menopang tubuhnya pada saat memanjat dinding  atau merayap di atas lumpur.
Karena sumber makanan dalam gua sangat minim, mereka juga harus berkompetisi untuk bertahan hidup.
Kepiting dengan tungkai yang lebih panjang dan lebih kuat akan memiliki keunggulan dalam bergerak sehingga lebih mudah pula memperoleh makanan. Sebaliknya, kepiting yang lambat karena tungkai kakinya pendek atau lemah akan tereliminasi perlahan-lahan.Â
Proses evolusi berlangsung dalam kehidupan gua bawah tanah.
Keunikan kepiting Jacobson terancam
Kerabat terdekat kepiting Jacobson yang bermarga Karstarma adalah kepiting bakau dari genus Sesarma.Kepiting Sesarma hidup di hutan bakau atau pantai berair payau yang kadar garamnya lebih tinggi dibanding air tawar.
Kepiting Karstarma juga sebenarnya hidup di tepi laut tetapi dengan kondisi khusus, yaitu berupa gua-gua karst yang menjorok masuk ke dalam daratan. Sebagai contoh kepiting Karstarma yang hidup di pantai adalah Karstarma emdi di Nusa Penida, dan Karstarma cerberus di Ambon.
Berbeda dengan leluhur dan kerabatnya yang hidup di pantai, kepiting Jacobson mampu beradaptasi hidup jauh dari pantai; mengatasi masalah perbedaan salinitas --kadar garam-- air tawar yang lebih rendah.
Temuan habitat kepiting Jacobson di Gua Gilap, lokasinya terletak 30 km dari garis pantai, dengan ketinggian 300 meter dari permukaan laut.
Selain itu, karena terbiasa hidup dengan kondisi air gua yang bebas dari cemaran limbah, kepiting Jacobson menjadi bioindikator sistem perairan gua yang masih bersih. Jika terjadi pencemaran maka kehidupan kepiting Jacobson pun akan terancam.
Ketam gua ini harus bersiap menyingkir atau punah jika lingkungannya terkontaminasi limbah tahi ayam dari peternakan  PT Widodo Makmur Unggas yang belum mengantongi izin IMB dan AMDAL ini.
Peternakan ayam juga diketahui telah memapras lima conical hills atau kubah kapur sehingga rata dengan area sekitarnya sejak masa pembangunan dimulai dua tahun lalu.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diperlukan untuk memastikan kesesuaian lokasi bangunan dengan peruntukkan lingkungan sekelilingnya. Sedangkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) disyaratkan agar keberadaan bangunan atau proyek  tidak mengganggu kelestarian lingkungan di sekitarnya.
Kepedulian Pemkab Gunung Kidul terhadap konservasi kawasan karst juga patut dipertanyakan, bagaimana mungkin sebuah bangunan berskala besar bisa berdiri tanpa izin di kawasan khusus.Â
Sebelumnya pada tahun 2017 sempat heboh juga karena ada pembangunan resort dan hotel di kawasan karst sementara IMB dan AMDAL yang diperlukan ternyata belum terbit.
Mengingat kawasan Geopark Gunung Sewu adalah aset nasional yang proses pengakuannya dari UNESCO juga cukup sulit, maka izin mendirikan bangunan di lokasi ini harus diawasi dengan ketat.
Tidak menutup kemungkinan jika satu bangunan berdiri maka puluhan bahkan ratusan lainnya akan menyusul sehingga keunikan bentang alam termasuk kehidupan bawah tanahnya akan rusak.
Jangan sampai gara-gara ternak ayam, anak cucu kita nanti hanya beroleh cerita saja; tentang kepiting gua bercangkang pucat yang leluhurnya berasal dari tepi lautan. ***
Sumber: biotagua | kompas | detik | mongabay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H