Perempuan tua, duduk bersimpuh tak berjarak dengan tanah. Tidak lagi peduli, kain dikenakan bakal menempel kotoran. Dua telapak tangan tengadah, kepala menunduk penuh. Khusyu bersikap merapal pengharapan, dan hening mengayun-ayun pucuk daun kamboja.
Senja yang melankolis, lembayung di ufuk mengembang sempurna. Seolah menyambut cakrawala membuka titian nirwana, dan langitpun siap menangkap setiap lantunan doa.
Perempuan tua, separuh lebih hidupnya, dilewatkan bersama lelaki disayangi. Lelaki, yang dulu guru muda di sekolah dasar.Â
Mendengar cerita ini, saya tidak bisa membayangkan, betapa kaku dan kikuknya seorang murid bersama sang guru bersanding duduk di pelaminan---hehehe.
Perempuan itu masih belasan tahun, berjarak usia sepuluh atau sebelas tahun dengan si suami. Meski keduanya banyak perbedaan, tetapi tak sedikitpun menghalangi langkah untuk bersama.
Kemudian perjalanan waktu telah membuktikan, bahwa keduanya teguh dan kukuh memegang ikrar janji di depan penghulu.Â
Hanya kurang sedikit lagi, dengan tiga putaran bumi terhadap matahari saja, genap setengah abad mengarungi samudera kebersamaan itu.
Manusia hidup membawa dan menjalani takdirNya, suami dihormati berpulang lebih dulu ketika angan-angan perkawinan emas sudah ada dibayangan.
Dan di pemakaman lengang di sudut desa, secara berkala melangkah dua kaki perempuan tua, datang membawa cinta yang tak kunjung pudar. Mengirim doa, adalah caranya menebus kerinduan, adalah caranya merawat kasih yang tak berpenghabisan.
Saya pernah bertanya pada diri sendiri, apakah ini yang dinamakan cinta sejati. Beberapa kali saya menjadi saksi, bagaimana cara ibu bersimpuh dan melangitkan doa. Dari bahasa tubuhnya, saya menangkap kesan. Hampir lima belas tahun sepeninggal suami, perempuan tua ini masih mendekap erat rasa cinta itu.