"Sebel sama keponakan, suka bikin nangis anak gue" curhat seorang teman
Ketika jam istirahat tengah berlangsung, teman meja sebelah mengajak saya ngobrol. Seorang ayah muda dengan satu anak, masih tinggal di rumah mertua.
Saya paham, teman ini ingin mencari tempat mengeluarkan uneg-uneg, tidak minta pendapat apalagi minta dicarikan solusi. Maka sepanjang curhatan, saya tidak memotong sama sekali.
"Semalam pas mau tidur, pintu kamar diketuk, gue kira mertua atau siapa, eh  yang nongol dia (keponakan). Cuma mau pamer mainan baru. anak gue mewek gak mau tidur." imbuhnya kesal
Kompasianer, mungkin pernah mengalami hal serupa atau yang mirip-mirip. Saya sendiri juga pernah, anak nangis karena berantem masalah mainan dengan sepupu -- dan itu wajar sih.
Risiko tinggal di rumah mertua, apalagi ada saudara lain (sudah berkeluarga) juga tinggal satu atap, adalah menyiapkan stok kesabaran lebih banyak.
Masalah (terkait anak-anak) bisa datang kapan saja tanpa dinyana, sangat mungkin memancing kekesalan kita orang tuanya. Keponakan (anak kakak ipar) seharusnya sudah seperti anak sendiri, karena ada hubungan darah, yang akan dibawa sampai mereka dewasa.
Pada usia satu tahun pernikahan, teman kantor ini pernah mengajak istri pindah dan tinggal di rumah kontrakan. Rupanya sudah tidak nyaman di rumah mertua, merasa tidak bisa menjalankan peran, sebagai kepala keluarga dengan maksimal.
"Sesekali pengin belain, waktu anak dibikin nangis, tapi gue gak lakuin itu," ujarnya dilematis.
Saya paham posisi yang serba salah, marah kepada keponakan, akan timbul ketidakenakan dengan kakak ipar dan suami.