Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Plus-Minus Penunjukan Ahok sebagai Kepala Badan Otoritas Ibu Kota Baru

6 Maret 2020   10:52 Diperbarui: 7 Maret 2020   09:52 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI

Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok telah secara resmi diumumkan Presiden Jokowi sebagai salah satu kandidat Kepala Badan Otoritas Ibu Kota baru selain Bambang Brodjonegoro, Tumiyono, dan Abdullah Azwar Anas.

Salah satu dari mereka akan memegang tanggung jawab penuh mengurus perihal pemindahan ibu kota baru dari DKI Jakarta ke Kalimantan. Bahkan hingga "tetek bengek" yang meliputinya.

Dari keempat tokoh tersebut, barangkali atensi publik akan langsung tertuju pada sosok Ahok. Sudah bukan rahasia lagi kalau eks gubernur DKI Jakarta ini menyimpan "kesan" mendalam di hati publik Indonesia.

Story tentang Ahok adalah sebuah kisah panjang politisi dengan segala kontroversinya. Hampir semua masyarakat Indonesia tahu tentang Ahok dan apa yang pernah terjadi padanya.

Selepas menyelesaikan masa tahanan di Rutan Mako Brimob 24 Januari 2019 lalu, kini Ahok mendapatkan kepercayaan dari Presiden Jokowi dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir untuk menduduki posisi Komisaris Utama PT Pertamina.

Salah satu harapan terbesar yang dibebankan kepadanya adalah perihal pemberantasan mafia migas yang ditengarai marak terjadi di perusahaan tersebut. Ahok yang dikenal tegas dipercaya bisa mengubah wajah Pertamina menjadi korporasi yang menerapkan prinsip Good Corporate Governance. 

Rekam jejak ketegasan Ahok memang sudah terlihat sejak lama. Sepertinya hal itulah yang telah membawa ke posisinya saat ini, dan sepertinya itu juga yang membuat Presiden Jokowi kepincut untuk "menominasikan" nama Ahok sebagai pewujud "ambisi" Presiden menghadirkan ibu kota baru bagi Indonesia.

Terlepas dari profil ketiga kandidat lain, Ahok memang menjadi calon paling "panas" untuk mengisi posisi penting tersebut. Akan tetapi, patut diingat bahwa menjadikan Ahok sebagai Ketua Badan Otoritas Ibu Kota selain memiliki nilai tambah juga menghadirkan kekurangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Ada "plus -- minus" dari penunjukan Ahok untuk mengisi jabatan tersebut. Berikut adalah beberapa di antaranya.

Kelebihan penunjukan sosok Ahok:

1) Ahok adalah sosok yang tegas dan tangkas dalam bekerja. Bisa dibilang ia bukan pribadi yang bertele-tele. Hal ini tentu dibutuhkan untuk merealisasikan rencana pemindahan ibu kota yang ditarget rampung dalam 5 tahun.

Target "gila" ini perlu didukung bukan hanya oleh sumber dana yang memadai, tetapi juga manusia dibalik layar yang bisa bekerja cepat. Presiden Jokowi identik dengan kerja cepat.

Semasa menjadi Gubernur DKI dulu Ahok dipilih menjadi pasangan Jokowi salah satu alasannya adalah pribadi Ahok yang dinilai mampu mengimbangi karakter Jokowi. Sehingga tidak mengherankan Ahok seakan begitu dipercaya untuk menjadi tangan kanan presiden merealisasikan visi misinya.

2) Menggarap ibukota baru pasti membutuhkan pengurusan pembebasan lahan berikut aspek-apek lainnya. Hal itu tentu tidak bisa diselesaikan secara berbelit-belit dengan target penuntasan yang cuma 5 tahun.

Perundingan terkait aspek penunjang keberadaan ibu kota baru mesti dituntaskan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Kalau mau membandingkan, ketika Ahok masih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan meminta warga bantara sungai agar segera meninggalkan lokasi tetapi tidak digubris warga maka langkah penggusuran pun dilakukan. Terkesan otoriter memang, akan tetapi ada sisi ketegasan juga dibelakangnya. Sikap seperti inilah barangkali yang diperlukan untuk melancarkan rencana membangun ibu kota baru.

3) Latar belakang etnis Ahok mungkin bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para investor, khususnya yang berasal dari Negeri Tirai Bambu, China. Tentunya investasi yang diperlukan untuk membangun ibu kota baru tidaklah sedikit. Anggaran negara bisa habis tersedot karenanya.

Untuk itu perlu ada sumber dana pendukung lain khususnya dari pihak luar agar turut mendanai pembangunan ibu kota baru. Agar hal itu bisa terlaksana, tentu harus ada sesuatu yang bisa "memancing" minat para investor tersebut agar berkenan melakukannya. Dalam benak Presiden Jokowi, mungkin Ahok bisa menjadi sosok itu.

Nilai minus terkait penunjukan Ahok:

1) Ahok sebagai Komut Pertamina memiliki fungsi penting dalam memperbaiki kinerja perusahaan tersebut. Khususnya dalam rangka memberantas mafia migas dan upaya membangun kilang minyak baru. 

Seiring Ahok menjadi Kepala Badan Otoritas Ibu Kota baru, sudah pasti hal itu akan mengurangi fokus Ahok dalam "membenahi" Pertamina. Dalam hal ini dualisme berpotensi mengurangi kualitas kinerja Ahok secara keseluruhan.

Lalu mengapa Ahok tidak mundur saja sebagai Komut Pertamina? Jika memang demikian opsi yang diambil, maka itu sama artinya gebrakan Erick Thohir mengalami langkah mundur.

Gembar gembor pernyataan tentang kelayakan Ahok sebagai Komut pada akhirnya hanya menjadi isapan jempol belaka. Kalau akhirnya Ahok hanya berakhir sebagai "CEO" ibu kota baru, maka buat apa ia dijadikan Komut Pertamina saat ini? Itu hanya buang-buang waktu saja.

2) "Kesakralan" ibu kota baru dinilai kurang apabila dikelola oleh sosok yang memiliki "cacat" hukum seperti Ahok serta memiliki sederet kontroversi dalam perjalanannya. Bagaimanapun juga ibu kota baru adalah representasi Indonesia baru yang semestinya tercermin dari keberadaan pemimpin "baru" di dalamnya.

Meski hingga saat ini pemindahan ibu kota masih dipenuhi kontroversi, akan tetapi jika rencana ini benar-benar terwujud maka semestinya ada "orang baru" juga yang menjadi pengelolanya. Kandidat selain Ahok mungkin tidak terlalu familiar di telinga publik. Barangkali justru salah satu dari merekalah yang lebih cocok dipercaya mengemban tugas ini.

3) Hilangnya kesempatan generasi baru untuk "unjuk gigi" dalam aktivitas penting kenegaraan. Inilah yang terjadi apabila Presiden kembali menunjuk "muka lama" dalam diri Ahok yang memang kenyang asam-garam birokrasi. Kebijakan Presiden Jokowi memilih "darah muda' saat menunjuk para staff khusus milenial presiden mungkin perlu dilanjutkan dalam mengurus pemindahan ibu kota.

Mungkin berisiko, tapi selama mereka memiliki tim kerja yang mumpuni maka harusnya hal itu tidak menjadi masalah. Kita bisa tengok momen kemunculan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam kancah perpolitikan Tanah Air.

Ia tidak memulainya dengan cara yang "sederhana", melainkan dengan tampil menjadi kandidat Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Sekarang kita bisa melihat bagaimana sepak terjang AHY yang digadang-gadang menjadi penerus ayahandanya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun