Bagunan disini hancur lebur, membuat ngilu hati semua orang yang melihatnya. Hotel Savana menjadi target utama dalam aksi pengeboman. Sekelompok orang dengan motif politik, tega melukai dan menewaskan orang-orang disana. Tak lama kemudian puluhan polisi datang mengamankan dan menyelamatkan orang-orang yang masih hidup. Petugas pemadam kebakaran juga datang untuk memadamkan si jago merah yang menyambar sisa-sisa gedung.
Puluhan wartawan juga datang untuk meliput kejadian. Seolah ini merupakan berita hangat yang perlu digoreng dan disaksikan oleh khalayak ramai. Aku baru tiba disini, mencari Fiki, seorang lelaki yang amat kucintai. Sejam lalu dia menghubungiku karena akan mengisi sebuah seminar terorisme. Sayang, lima menit saat aku berbicara dengannya, tiba-tiba suara keras begitu menggelegar di telinga dan saluran telfonku secara mendadak terputus.
Dengan panik, aku menuju ke tempat Fiki berada. Disini hanya tersisa puing-puing bangunan. Beberapa mayat yang ditemukan hangus terbakar, sedangkan yang lain masih dalam proses pencarian, termasuk Fiki. Â
Air mataku berlinang membasahi pipi. Aku masih berharap kepada Tuhan, kekasihku bisa selamat karena seminggu lagi aku akan menikah dengannya.
Aku begitu takut jika harus kehilangan sebelum hatiku tertambat padanya dalam ikatan suci pernikahan.
"Jangan sampai... Jangan sampai kamu tinggalin aku..." Aku berharap lirih.
Dua Jam Berlalu
Dua orang berbaju orange mambawa tandu berisi mayat. Wajahnya hangus dan hancur. Bajunya robek sekaligus compang-camping akibat terkena ledakan bom.
"Ya Tuhan..." Hatiku berdesis.
Aku begitu mengenal sosok orang yang ditandu. Sosok yang kucari dari tadi. Spontan aku berlari ke arah Fiki dengan linangan air mata, namun beberapa petugas mencegahku. Aku meronta sejadi-jadinya dan berteriak. Petugas tetap tidak peduli. Hatiku seolah ingin menjerit: