Musim kemarau panjang seperti sekarang ini menjadi siksaan tersendiri bagi tetangga saya. Pasalnya, mereka harus menerima "takdir" mencium bau tak sedap. Sungai dekat rumah mereka mengirim aroma tidak enak.
Sungai menjadi selokan raksasa. Air buangan rumah tangga dan limbah pabrik gula menggenang, seperti enggan mengalir. Belum lagi tanaman kangkung dan bermacam-macam sampah, didominasi oleh sampah plastik, membuat mata nanar saat memandangnya.Â
Sungguh, ini pemandangan yang kontras dibandingkan zaman saya kecil. Sungai, atau kami sering menyebut kali, menjadi sumber kebahagiaan. Sejuta kenangan masa kecil tersimpan di sepanjang bantaran sungai.Â
Sebut saja kenangan adus kali, mancing, bermain getek, mencari belut. Semua jenis permainan air nyaris tak ada yang terlewatkan.Â
Kini, kaliku telah berubah, gara-gara dipenui sampah. Ah, benarkah sampah menjadi satu-satunya pihak tertuduh? Ataukah sampah adalah keniscayaan yang menyertai kemajuan kebudayaan kita?Â
Kita mengantisipasi keniscayaan itu dengan memasang tulisan: Jangan buang sampah sembarangan! Sungai bukan tempat sampah. Lantas, gerangan apakah makhluk bernama sampah sehingga ia tidak boleh dibuang sembarangan?
Apakah tidak sebaiknya kita meninjau ulang etimologi, epistemologi, terminologi serta sejumlah mata pandang filsafat lainnya untuk melihat kembali sampah?Â
Padahal, persoalan sampah bukan sekadar plastik yang menumpuk, bangkai yang membusuk, limbah pabrik yang meracuni. Ada sampah atau tidak sesungguhnya ditentukan oleh mindset kita.Â
Apabila sejak awal pikiran menyatakan barang yang tidak terpakai harus dibuang, saat itu juga terciptalah kebudayaan yang ditimbuni sampah.Â
Mari kita teliti bersama. Adakah satu saja makhluk Tuhan yang tidak berguna, yang tidak memiliki manfaat, yang tidak berfaedah?Â
Semua ciptaan Tuhan, serta apapun yang dihasilkan oleh kebudayaan manusia, mulai keringat, air kencing, kotoran buang air besar hingga partikel paling kecil di alam semesta, memiliki fungsi, peran dan guna.Â