Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Perang Kerajaan-kerajaan di Nusantara

8 Oktober 2019   04:10 Diperbarui: 8 Oktober 2019   04:39 3015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bukalapak.com 

SEBELUM kedatangan bangsa Eropa -- Portugis, Belanda, dan Inggris -- terjadinya perang di Nusantara cenderung dipicu faktor perselisihan antar kerajaan, pemberontakan dari para punggawa, atau intrik politik di lingkup keluarga istana. Namun sesudah kedatangan bangsa Eropa, perang tidak hanya melibatkan kerajaan-kerajaan di Nusantara, melainkan pula melibatkan bangsa asing tersebut.

Bila mencermati lebih jauh mengenai sejarah perang di Nusantara, di mana perang tidak hanya terjadi di kerajaan-kerajaan besar di Jawa, namun pula kerajaan-kerajaan besar yang ada di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Kerajaan-Kerajaan di Sunda

DALAM sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Sunda dimulai dengan Salakanagara yang didirikan oleh Dewawarman I pada tahun 130. Surutnya Kerajaan Salakanagara yang waktu itu di bawah kekuasaan Dewawarman VIII karena mendapatkan serangan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya pada tahun 362.

Sebelum runtuhnya Kerajaan Salakanagara, timbullah Kerajaan Tarumanagara yang didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman (putra menantu Dewawarman VIII) pada tahun 358. Pasca pemerintahan Linggawarwan (666-669), Tarumanagara mengalamai masa surut. Karena Tarusbawa yang seharusnya menjadi raja justru memindahkan pusat pemerintahannya di Sunda. Selain itu, terdapat dugaan bahwa runtuhnya Tarumanagara karena mendapat tekanan dan serangan dari Sriwijaya (Sumatera).

Diketahui bahwa Kerajaan Sunda tidak berlangsung lama, sesudah Sanjaya berkuasa sebagai raja Sunda-Galuh dari tahun 723 hingga 732. Namun semasa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana, Sunda-Galuh mendapatkan serangan dari Banten pada tahun 1527. Sesudah itu, lahirlah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang mengalami keruntuhannya sesudah mendapatkan serangan dari Kesultanan Banten di bawah komando Maulana Yusuf pada tahun 1579). Sesudah ditaklukkan oleh Kesultanan Banten, Kerajaan Pakuan Pajajaran menjadi bagian dari kekuasaan Sumedanglarang.

Di masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun (1580-1608), Sumedanglarang mengalami masa surut sesudah mendapatkan serangan besar-besaran dari Kesultanan Cirebon. Sesudah terjadi perang saudara, Kesultanan Cirebon pun mengalami masa surut pada tahun 1926. Di mana pada tahun tersebut, pemerintahan Kesultanan Cirebon dihapuskan secara resmi sesudah pengesahan Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon).

Kerajaan-Kerajaan di Jawa

DALAM catatan sejarah, kerajaan-kerajaan tertua di Jawa yang berdiri pada abad ke-7 tersebut berada di wilayah Pantura. Menurut catatan sejarah, terdapat tiga kerajaan di wilayah Pantura yang dikuasai Depunta Syailendra, Santanu (raja bawahan Sriwijaya), dan Kartikeyasingha (raja Kalingga). Letak kerajaan yang dikuasai Depunta Syailendra tidak diketahui, namun letak kerajaan yang dikuasai Santanu berada di Batang. Sementara, letak kerajaan Kalingga yang dikuasi Kartikeyasingha berada di Jepara.

Pasca pemerintahan Kartikeyasingha (648-674), Kalingga dikuasai oleh istrinya yakni Ratu Jay Shima (674-695). Menjelang akhir pemerintahan Ratu Jay Shima, Kalingga dibagi menjadi dua bagian yakni Kalingga utara untuk putrinya yakni Dewi Parwati. Sementara, Kalingga Selatan diberikan kepada putranya yakni Narayana. Kelak Kalingga Utara dikuasai oleh Sanjaya (cucu Dewi Parwati atau putra Sannaha) dan Kalingga Selatan dikuasai Dewa Singha. Semasa pemerintahan Dewa Singha, Kalingga Selatan dapat dikuasai oleh Sanjaya melalui jalan peperangan.

Sesudah memerebut wilayah Kalingga Selatan, Sanjaya yang pernah berkuasa di Sunda dan Kalingga Utara tersebut menjabat sebagai raja Medang dengan ibukota Bhumi Mataram (Medang i Bhumi Mataram) pada tahun (754-760).  Semaja menjadi raja, tahta kekuasaan Sanjaya digulingkan oleh Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (Tejahpurnapane Panamkarana) yang berasal dari Dinasti Syailendra.

Sesudah Dyah Pancapana menjadi raja, Medang dikuasai oleh raja-raja dari Dinasti Syailendra, yakni: Rakai Panunggalan Dyah Daranindra, Samaragrawira, Samaratungga, dan Pramodhawardhani. Di era pemerintahan Pramodhawardhani inilah, Medang pula dikuasai oleh keturunan Sanjaya yakni Rakai Pikatan Mpu Manuku. Mengingat Mpu Manuku yang Medang dengan ibukota Mamrati menjadi suami Pramodhawardhani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun