Mohon tunggu...
Diahningtias Windayani
Diahningtias Windayani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Yogyakarta kota kenangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Pilihan Suamiku

5 April 2013   20:59 Diperbarui: 4 April 2017   18:10 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak kecelakaanenam tahun yang lalu, suamiku sudah tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Kasihan sekali dia, walau tubuhnya sehat dan gagah tapi kejantanannya tidak berfungsi. Dia impoten. Sebenarnya aku juga sangat tersiksa dengan keadaan ini, tapi aku sebagai seorang istri harus membesarkan hatinya dan tidak pernah menuntut dirinya serta merendahkannya.. Aku pun tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk meninggalkannya. Aku masih tetap setia kepadanya walau aku sering merasakan gairah yang meletup-letup dalam diriku tanpa ada penyaluran. Sebenarnya baik aku maupun suamiku sama-sama tersiksa dengan keadaan ini.

Suamiku pernah menyarankan aku untuk bercerai dan menikah lagi. Aku tidak setuju.Bagiku Making love bukan yang paling utama dalam sebuah pernikahan. Apalagi usiaku dan suami sudah tidak muda lagi dan sudah tidak meletup-letup lagi seperti saat pengantin baru dulu. Aku bisa mengatasinya bila keinginan itu muncul dalam diriku, aku berusaha mengalihkan perhatianku dengan menyibukkan diri di kantor atau pergi bersama anak-anak.Tapi aku juga tak dapat memungkiri bahwa ML merupakan bumbu dalam pernikahan.

.........................................

Pagi yang cerah, burung-burung pun berkicau menyambut datangnya sang mentari. Aku sudah menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Pagi ini aku masak sayur asem-asem, tahu tempe bacem , dan sambal terasi. Aku pun segera berdandan di kamarku untuk bersiap-siap pergi ke kantor.Aku merasa Mas Irwan mengawasi diriku yang sedang berdandan, secara reflek aku menoleh kepadanya yang baru saja bangun tidur. Aku tersenyum menatapnya. Aku beranjak dari tempatku berdiri di depan meja rias, kemudian aku menghampiri dirinya.

“Selamat pagi, sayangku! I love you” ucapkumesra seraya mengecup pipinya. Mas Irwan tersenyum sambil melipat selimutnya dan membalas ciumanku.

“Hmm.....bau, sana gosok gigi dulu!” ujarku bercanda seraya kembali ke depan meja rias lagi untuk berdandan. Mas Irwan mendekatiku, dia berdiri dibelakangku sambil mendekapku dari belakang.

“Rin, kau masih muda dan cantik! Aku tahu, kau pasti menderita. Aku kasihan dirimu, Sayangku!” ujar suamiku masih tetap mendekapku sehingga aku kesulitan untuk berdandan.

Aku tidak menjawab. Aku menggeliat berusaha melepaskan dekapannya karena aku kesulitan untuk bergerak, Mas Irwan melepaskan dekapannya. Kupoleskan bedak pada wajahku dan aku bubuhkan lipstik warna orange pada bibirku yang tipis dan sensual.

“Kalau kau tak mau menceraikan aku, bagaimana kalau kau kucarikan seorang kekasih yang bisa memenuhi kebutuhanmu di tempat tidur” ujarnya kemudian.

Pyaaar! Bedak padatku jatuh terlepas dari tanganku. Aku kaget dengan sarannya, aku membalikkan badan dan kini berhadap-hadapan dengannya.

“Aku tidak setuju! Kau sudah gila!” ujarku ketus. Aku meninggalkannya untuk mengambil seragam dan memakainya. Mas Irwan mengawasiku dengan tajam menatapku ganti pakaian, dia menelusuri lekuk-lekuk tubuhku yang masih langsing meski telah mempunyai anak dua.

“Aku kasihan kamu, pasti dirimu merasa tersiksa, aku tak dapat memuaskan..........”

“Stop! Tidak usah dibahas” aku memotong pembicaraannya yang mulai nglantur.

“Coba dengarkan dulu penjelasanku! Begini lo, aku akan mengenalkanmu pada seseorang, dia dulu sahabatku, masih bujangan, karena patah hati dia tidak mau menikah. Dia sudah setuju. Tapi syaratnya kau tidak boleh jatuh cinta kepadanya” ujuar Mas Irwan tenang. Ada nada terluka saat dia berkata seperti itu.

“Kau gila, Mas! Aku bukan pelacur, aku perempuan baik-baik” ujarku tersinggung kemudian aku menyambar tas kerjaku dan meninggalkannya yang masih berdiri di depan meja rias.

Di kantor aku tak bisa konsentrasi bekerja, apa yang kukerjakan selalu salah. Mau tidak mau aku jadi kepikiran dengan ide gilanya itu. Aku benar-benar tersinggung dan marah. Dia telah meremehkan aku. Dikiranya aku wanita yang tipis iman sampai mau menyerahkan tubuhku untuk kepuasan sesaat. Hampir maghrib aku masih di kantor. Rasanya enggan pulang. Jiwaku letih, bertahun-tahun aku bisa mempertahankannya, aku berusaha membunuh segala keinginan yang selalu bergelora dalam tubuhku. Kuakui sulit sebenarnya, aku masih muda baru 32 tahun. Usia segitu sedang gairah-gairahnya untuk memadu kasih.

Reeeeet.....reeet...........hpku bergetar, layar LCD nya menyala. Kulihat siapa yang memanggil, ternyata Mas Irwan, aku enggan menerimanya, ku biarkan saja panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Mas Irwan masih tak putus asa, dia mengirimku sms “Rin, kamu masih marah ya? Pulang Rin, aku dan anak-anak merindukanmu”. Sms-nya pun kuabaikan. Teringat kedua belah hatiku yang menunggu di rumah, aku pun beranjak dari tempat dudukku. Dengan langkah gontai aku pulang ke rumah. Baru kali ini ada rasa enggan untuk pulang ke rumah untuk bertemu dengan Mas Irwan, padahal biasanya, setiap hari selalu ada kerinduan yang tersirat untuk ingin bertemu dengan Mas Irwan dan juga dengan anak-anak, Dani dan Riva.

...............................................

Malam semakin larut, hujan punturun dengan derasnya membuat suasana menjadi dingin menggigil sehingga membuatku enggan untuk beranjak dari tempat tidur, paling nyaman bergelung di balik selimut. Namun, mata ini tak mampu terpejam. Kulihat Mas Irwan tertidur dengan pulas dibalik selimut dengan dengkurannya yang halus. Betapa enaknya Mas Irwan, bisa tidur sepulas ini, iri aku dibuatnya. Badanku penat tapi mata ini tak bisa memicingkan mata sekejap pun. Aku tak bisa tidur, berkali-kali aku membalikkan badan, aku berusaha menelusupkan tanganku di bawah bantal agar bisa terpejam, percuma saja, aku tetap tak bisa tidur. Aku meraih majalah, kunyalakan lampu kamar, aku mencoba membaca dengan harapan segera mengantuk. Mas Irwan terjaga dari tidurnya karena lampu kamar aku nyalakan. Aku lupa Mas Irwan tidak bisa tidur dalam keadaan terang benderang.

“Belum tidur?” tegur mas Irwan

“Belum ngantuk. Maaf Mas aku membangunkanmu ya! Kalau begitu aku pindah ruang tamu saja!” ujarku seraya bersiap turun dari tempat tidur. Mas Irwan menarik tanganku lembut.

“Tidak usah pindah. Di sini saja!”ujarnya seraya memelukku. Ada rasa yang bergelora dan meletup-letup dari dalam tubuhku saat Mas Irwan memelukku seperti ini. Aku pun menarik nafas panjang. Kucoba untuk menepiskan keinginan itu. Rupanya Mas Irwan tahu, dia memandangku sedih Aku mengerti sekali, lelaki yang tidak mampu memuaskan pasangannya akan merasa seperti panglima kalah perang. Dan perasaan ini membuat Mas Irwan tambah stres. Aku berusahamenutupi perasaanku dengan tetap membaca majalah, namun aku tak mengerti isinya. Mengetahui pengorbananku, Mas Irwan semakin memelukku. Dan semakin didera perasaan bersalah.

“Rina, seandainya kau mau menerima usulku, coba dengar sebentar…..” ujar Mas Irwan sendu.

“Maksudku, kita ini tetap sebagai suami istri tapi aku ikhlas bila kau mau berkencan dengan sahabatku. Aku merasa kasihan kepadamu. Aku tak ingin kau menderita, Rin” ujarnya lagi seraya membelai-belai pundakku. Aku diam tak bergeming, aku tak ingin meladeni omongannya.

“Hari Sabtu besok, kuajak dia kemari! Namanya Rangga. Aku mohon kau tidak menolaknya. Hanya teman kencan, Rin! Kau boleh bercinta dengannya tapi kau jangan jatuh cinta kepadanya” ucap Mas Irwan seraya mematikan lampu kemudian mendekapku erat. Aku pun balas mendekapnya erat seraya membelai-belai rambutnya, tak terasa ada butiran hangat meleleh dari pelupuk mataku. Aku letih……..!

…………………………

Mas Irwan benar-benar menepati omongannya. Rangga teman Mas Irwan datang ke rumah, Mas Irwan tadi sore sengaja beli makanan untuk makan malam dari restoran china dekat rumah. Kami makan bersama. Rangga ternyata sangat ramah dan humoris, tapi dibalik itu semua ada semacam kedukaan yang dalam di matanya, Rangga juga pandai bercanda dengan kedua anakku. Hanya aku yang membisu. Aku merasa malu pada Rangga dia akan menjadi teman kencanku, dia laki-laki pilihan suamiku. Seolah-olah aku seperti gadis remaja yang akan dijodohkan. Aku hanya menunduk sambil makan. Sesekali aku menimpali omongan mereka.

Setelah makan malam bersama itu, Rangga sering ke rumah, kadang kami pergi bertiga tanpa anak-anak. Mungkin maksud Mas Irwan supaya aku dan Rangga bisa saling berinteraksi. Ah…sungguh rencana yang gila. Apa bedanya aku ini dengan pelacur, melayani laki-laki lain yang bukan suamiku hanya demi mempertahanankan rumah tanggaku. Mas Irwan sebenarnya juga tak ingin menceraikan aku. Yang penting rumah tangga tetap utuh, namun aku juga memperoleh kepuasan batin dari laki-laki lain. Sudah hampir dua bulan kami selalu jalan bertiga, namun, aku belum berani untuk berkencan dengan Rangga. Baru bulan ke lima aku pergi berdua dengan Rangga sewaktu aku mendapat tugas dari kantor ke Malang. Mas Irwan menyuruh Rangga untuk mengikutiku. Aah….Suatu pengorbanan yang besar dari seorang suami yang rela istrinya berduaan dengan laki-laki lain demi cintanya pada sang istri.

Belum pernah aku berduaan seperti ini dengan laki-laki lain apalagi di hotel di luar kota. Aku kikuk, aku tak banyak bicara kepadanya hanya sekali-kali aku berkata bila dia bertanya kepadaku. Untung saja kali ini tugasnya hanya sendiri. Kalau ada temanku, pasti besoknya akan tersebar gosip di kantor.

Keramahan Rangga membuat aku menjadi tidak kikuk lagi kepadanya. Aku mulai lancar berkomunikasi dengannya. Bila sore hari setelah tugasku selesai kami berjalan-jalan menyusuri Kota Malang yang sejuk. SebenarnyaRangga cukup tampan, rambutnya ikal dibelah pinggir, hidungnya mancung, dan tubuhnya tinggi atletis. Melihat Rangga aku jadi teringat artis sinetron Dude Harlino. Aku juga heran, mengapa orang sekeren Rangga tidak menikah hanya karena menyesali masa lalunya.

Malam yang dingin, aku dan Rangga berdua di kamar hotel. Rangga memutar lagu nostalgia barat. Aku duduk sambil melihat televisi. Rangga menghampiriku duduk disebelahku, ingin aku beringsut berdiri karena merasa canggung duduk berdua saling berdekatan seperti ini. Rangga mencegahku dengan menarik tanganku karena tarikannya terlalu kuat atau aku yang tidak punya keseimbangan sehingga aku terjerembab jatuh kedalam pangkuannya. Wajah kami begitu dekat, Rangga menatapku lembut . Aku memalingkan wajahku. Rangga melepaskan jepitan rambut yang menggelung rambutku. Jantungku bergetar cemas. Rangga menutup mulutku dengan memagut bibirku dan mengulumnya, begitu lembut seolah-olah membawaku ke angan-angan. Mesra sekali sampai aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Kakiku terasa lemas tak bertenaga. Rangga memelukku erat, membelai-belaiku. Mula-mula tentu saja aku merasa malu, merasa cemas, dan merasa direndahkan, namun, karena Rangga memperlakukanku dengan lembut dan mesra, seakan-akan memanggilku untuk menyambutnya, apalagi sudah lama aku tak pernah merasakan sentuhan sedasyat ini sampai membuatku tak bisa berpikir jernih.

Semakin lama gairahku semakin sulit dikekang. Keberanian rangga menjelajahi semakin membara. Dan kepasrahanku semakin mutlak. Aku tak mampu mencegahnya lagi, semuanya terjadi begitu saja. Selesai dalam hitungan menit. Aku merasa kehangatan menyelinap di dalam tubuhku. Rasanya tubuhku segar bukan main. Seperti ada sumbatan botol yang lepas…….

Setelah peristiwa itu, aku semakin sering berkencan dengan Rangga. Kadang tanpa sepengetahuan Mas Irwan. Kami sering bertemu saat jam pulang kantor, sehingga aku sering pulang terlambat. Alasanku pada Mas Irwan lembur jika aku pulang malam. Aku sebenarnya merasa berdosa kepadanya, aku telah mengkhianatinya. Tapi…itu semua juga salahnya, dialah yang punya ide, akhirnya aku tenggelam dalam permainan yang diciptakannya. Bila setiap kali ingatanku kembali ke peristiwa itu, aku merasa malu! Malu kepada diriku sendiri, aku serendah ini. Aku seolah-olah berada dipersimpangan, di satu sisi aku merasa itu dosa, sedangkan di sisi lain aku sangat membutuhkan kemesraan itu. Ada perasaan lain yang telah tumbuh di hatiku, aku mulai menyukai Rangga, tepatnya telah jatuh cinta kepada Rangga, rupanya aku tak bertepuk sebelah tangan. Rangga seolah-olah menemukan cintanya yang hilang. Menurut Rangga aku mirip kekasihnya dulu.

Aku takut pada Mas Irwan, dia sering mewanti-wanti aku agar aku tidak melibatkan perasaanku. Aku tak ingin membuat Mas Irwan lebih terpuruk lagi. Aku takut dia akan semakin tidak percaya diri dan yang pasti harga dirinya semakin terkoyak.

Di sisi lain bila bersama Rangga aku merasa tersanjung. Aku seperti kapas, dibenamkan dalam larutan pewangi yang semerbak. Kenikmatan yang diberikan Rangga seperti milikku. Melayang dan menari dalam rengkuhan kebahagiaan yang tak pernah berakhir. Mungkinkah semua ini terjadi bila tak ada cinta? Rangga melakukannya tidak hanya sekali. Rangga melakukannya seminggu sekali. Rangga tidak hanya menyanjungku tapi dia juga melimpahi aku dengan cinta kasih.

Kelihatannya Mas Irwan mulai curiga dengan gelagatku. Walaupun aku masih tetap memperhatikan dirinya seperti dulu, namun ada yang berbeda dari perubahan bahasa tubuhku. Aku menjadi suka berdandan dan wajahku kelihatan berseri-seri, aku tampak bahagia. Tapi mas Irwan tak pernah sekali pun mengungkit-ungkit tentang kecurigaannya. Kadang aku kasihan kepadanya. Bila dia tertidur pulas, kupandangi dirinya sepuas-puasnya. Ada semacam keletihan dalam matanya.

…………………………….

Pagi itu suasana menjadi heboh dengan adanya sebuah telpon dari kantor Mas Irwan yang mengabarkan bahwa Rangga tewas terbunuh hingga lehernya hampir putus. Aku tidak menduga Rangga akan pergi dengan cara seperti ini. Aku dan Mas Irwan datang ke tempat kejadian di rumahnya. Aku ngeri melihat jenazahnya.Aku berteriak histeris, suamiku memelukku erat, aku menangis. Ada rasa kehilangan yang cukup dalam di relung hatiku. Rangga orang yang kucintai, orang yang mampu memberiku kebahagiaan kini telah pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Aku limbung dan lunglai, kakiku lemas tak berdaya. Mas irwan memapahku dan dia mengajakku pulang.

Aku masih shock, hari ini aku bolos kerja. Rasanya tidak semangat. Aku akan menyusuri hari-hari sepi yang panjang tanpa kehadiran Rangga. Aku terlanjur mencintainya. Suamiku menatapku tajam melihatku shoch seperti ini. Dia tersenyum menyeringai. Aku heran, tak pernah dia tampak aneh seperti ini. Aku masih berbaring lemas di kamarku. Kepalaku pusing. Aku mencoba berdiri. Tubuhku terhuyung-huyung seperti vertigo, aku jatuh terjerembab di lantai. Sekilas aku melihat sebuah benda yang berkilat di bawah tempat tidur. Kuamati benda itu. Aku hamper tak percaya melihatnya. Sebuah pisau berlumuran darah. Haaah….ini pisau siapa dan mengapa ada di kamarku? Jangan-jangan…….? Seketika berkelebat pikiran buruk tentang Mas Irwan, tentang senyumnya yang menyeringai. Aku teringat Rangga. Astaga………..Mas Irwaaaaan! Aku tak sadarkan diri, tak kuat jiwaku menghadapi semua ini.

Selesai

Minomartani, 5 April 2013 (diahningtias w)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun