Kompasioner sebagai penulis artikel ini, siap berhadapan dengan hukum menantang siapapun yang keberatan dalam argumentasi ini. Karena apapun yang terjadi, tidak sebanding dengan penderitaan para korban. Yang tewas, bahkan yang hidup dan tersisa dalam peristiwa Tenggelamnya MV.Fery Dumai Ekspres 10 itu, 13 tahun silam di Perairan Karimun. Tepat pada hari Minggu 22 November 2009.
Penulis, adalah korban yang selamat dan mampu menyelamatkan keluarga dalam peristiwa itu, namun tidak urung tetap menahan duka nestafa yang tidak berkesudahan. Mengapa disebabkan peristiwa itu, bagi pihak korban. Dianggap merupakan sebuah kejahatan pelayaran, yang melumpuhkan tidak hanya kebenaran akan tetapi wibawa Pemerintah Republik Indonesia ikut lumpuh.Â
Pemerintah tidak mampu mengatasi dan menyelesaikan permasalahan tersebut secara tuntas, sehingga masyarakat yang seharusnya terlindungi hak-haknya, hanya sebagai musafir yang kehausan di Padang Pasir sementara tidak pernah bisa menemukan oase guna menyelamatkan rasa haus itu. Karena hukum dan kebenaran tidak pernah hadir. Ketika permasalahan ini di Mediasi KomnasHAM RI di Dumai beberapa tahun lalu , yang langsung ditangani Yosef Adiprasetyo Komisioner KomnasHAM RI, sebelum Yosef duduk sebagai Ketua Dewan Pers.
Kasus tuntutan korban itu juga mandek, tanpa ada ujung. Padahal ada Berita Acara penentuan kelanjutan Mediasi, yang ditanda tangani bersama, antara Pihak Korban, pihak Perusahaan PT. Lestari Indoma Bahari Dumai sebagai induk perusahaan Dumai Ekspres, dan pihak KomnasHAM Lembaga terhormat yang memimpin Mediasi itu.Â
Lucunya cerita Mediasi itu gantung, dan ketika penulis kembali menghubungi KomnasHAM, penulis hanya disarankan untuk menyampaikan permasalahan ini kepada Pemerintah yang diartikan kepada Presiden. Semudah itu KomnasHAM manut terhadap kesimpulan pihak PT.Lestari Indoma Bahari yang tidak mau pertemuan Mediasi itu dilanjutkan, padahal itu bisa berujung dalam bentuk Wan Prestasi.Â
Penulis yang sejak semula di Karimun, ditunjuk para korban selamat sebagai porson yang mewakili berusaha berbuat semaksimal mungkin. Termasuk mempertahankan sikap dalam hal  jumlah korban. Karena hal itu menyangkut harkat kemanusiaan. Ketika Mediasi berlangsung pihak Dumai Ekspres yang penulis katakan memanipulasi data, menyebutkan bahwasanya korban tewas dan hilang hanya 37 orang.Â
Kalau hal itu benar, tentu saja yang mendapat asuransi jiwa hanya sebatas jumlah itu. Penulis tidak mendapat akses sampai kepada masalah klaim asuransi tersebut. Manipulasi data yang diutarakan Asmadi, pengendali pelayaran PT.Lestari Indoma Bahari dalam Mediasi itu. Bila diacu dengan jumlah korban berdasarkan laporan KNKT saja, sangat jauh bedanya.Â
Laporan KNKT menyebut lebih dari tujuh puluh orang hilang dan tewas. Itu adalah laporan resmi, pihak yang berkompeten. Sementara kami pihak korban memperhitungkan penumpang yang Tewas dan Hilang tidak kurang dari 100 orang, berdasarkan adanya alasan kuat kami penumpang menyatakan jumlah tersebut. Â
Sayangnya pejabat Pemerintah yang berkompenten dalam hal itu, dimasa itu, lebih cendrung hanya memiiki kemampuan sebatas penonton. Hal itu sangat kami rasakan sebagai korban, kasus tenggelamnya MV.Fery Dumai Ekspres 10, sangat sarat dengan peraktek polotisasi. Di Kabupaten Karimun, ketika korban akan di evakuasi ke Dumai diangkut Kapal Patroli Pantai Trisula, hal itu sudah penulis rasakan.Â
Komandan Kodim Karimun ketika itu, memeluk penulis, membisikkan kata " Berjuang Terus Pak Zulfan", penulis sudah artikan sebagai suatu isarat penulis harus benar-benar ekstra hati-hati atas masalah ini.
Di Dumai kekhawatiran itu kian nyata, seorang oknum yang bertanggung jawab di Peabuhan Dumai, membawa penulis ke sebuah Kantin yang tidak aktif, disudut Pelabuhan. Disaat mana Korban-korban yang kecewa mulai marah dan berunjuk rasa.Â