Mohon tunggu...
Zulfan Ajhari Siregar
Zulfan Ajhari Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Buku

Penulis beberapa buku sastra kontemporer, sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Nature

Warga Labura Dimangsa Buaya Mirip Balas Dendam

2 Agustus 2020   08:33 Diperbarui: 2 Agustus 2020   08:34 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak Jaman dahulu pertarungan antara hewan buas dan manusia terus berlangsung, ketika ponggawa kerajaan lalai untuk melaksanakan tugas melindungi manusia, sekaligus melindungi alam. Dan saat ini pertarungan itu masih berlangsung, kendati ada aturan demi aturan yang dibuat, melalui Perangkat Kementerian. Mengapa seperti itu, itukan hanya tulisan diatas kertas, pada perakteknya apa begitu ?, siapa petugas-petugas dari Kementerian, Dinas Provinsi, atau Dinas Kabupaten yang betul-betul melaksanakan tugas, kalau hasilnya dalam bentuk uang nyata enggak ada.

Beberapa hari lalu, Ponidi (49) Penduduk Tanjung Pasir Kecamatan Kualuh Selatan Kabupaten Labuhanbatu Utara Sumatera Utara, disambar Buaya dihadapan istri dan anaknya. Ketika Ponidi sedang melangsir Buah Sawit ke Sampan, dari Kebunnya. Itulah informasi yang diterima dari lapangan.  Justru Ponidi sedang berada dikawasan darat di Kebunnya sendiri, ketika itu memang sedang terjadi Air Banjir, hampir mencapai Pinggang. Buaya yang menyaploknya langsung menyeret tubuh Ponidi ke Aliran Sungai Simangalam. Aliran Sungai Simangalam, berhubungan ke Sungai Kualuh, yang kemudian Sungai Kualuh itu akan bermuara di Tanjung Leidong, Laut lepas Selat Malaka.

Dilihat dari cara Datuk Air itu menghajar mangsanya, itu bukan bentuk kerja Buaya Lapar. Justru setelah mayat Ponidi ditemukan, yang hilang hanya bahagian Kepala. Artinya Sang Buaya, hanya ingin mematikan Ponidi. Mengapa ?, Ponidi bukanlah korban pertama. Kejadian yang hampir sama ditempat itu sudah berulang tiga kali. Justru yang diincer adalah keluarga Ponidi. Dua kejadian tidak menyebabkan korban tewas, hanya luka-luka. Ada informasi setempat yang menyebutkan, keluarga itu pernah mengganggu kehidupan Buaya setempat, membunuhi anak Buaya, dan Memecahi Telur-telur Buaya. Bisa jadi, kalau sang Raja Air itu menyimpan Dendam. Dari Kacamata manusia penghancuran cikal Buaya itu betul, dilihat dari peraturan, dan Kacamara Buaya itu sendiri, itu salah, lantas dendamlah yang muncul. Apakah masalah akan berakhir disitu saja, mungkin tidak Manusia warga setempat pasti tidak tinggal diam. Walaupun akan ber aksi secara diam-diam, inilah yang merupakan PR.Nya jajaran Kementerian Lingkungan Hidup, tidak harus menghukum manusia yang sakit hati terhadap buaya, akan tetapi mempelajari masalahnya, dan menemukan solusi penyelesaiannya.

Beberapa tahun lalu, penulis terlibat dengan masalah Buaya ini, selaku Pimpinan El Es Em. Seorang Gadis dari Suku Batak, yang tinggal di kawasan Desa Sei.Apung Labuhanbatu Utara, disambar Buaya, dan mayatnya ditemukan beberapa hari kemudian, hanya dalam bentuk sisa-sisa. Didalam perut Buaya itu juga ditemukan Handuk, ketika Buaya itu dirajang-rajang warga. Warga Masyarakat Batak yang tinggal diperantauan wilayah ini, dikenal keras dan kompak. Buaya pemangsa itu tidak pernah tenang di Buru, Pawang Buaya dari manapun didatangkan, akhirnya di Buaya tertangkap kuyu, loyo. Perlu dicatat, Mitos atau sebenarnya, kalau Buaya sudah memangsa Manusia, Buaya itu juga akan diasingkan warganya. Warganya menyumpahi, karena bencana perang akan terjadi. Itulah salah satu penyebab, mengapa Buaya yang sudah memangsa manusia, bisa didapatkan. Begitu juga dengan Buaya besar yang lebih Lima Meter memangsa Gadis Remaja di Sei.Pegantungan itu, berhasil ditemukan warga. Pihak BKSDA Sumut, turun Ngantor. Perdebatan terjadi, manakala warga masyarakat ingin membunuh Buaya itu. Pihak BKSDA tidak bersedia member ganti rugi atas biaya penangkapan Buaya tersebut, oleh warga dikatakan, mereka rugi sudah Rp.7.000.000,- Tujuh juta rupiah. Pihak BKSDA hanya mampu member ganti rugi, Rp.2.500.000,- akhirnya Buaya itu terkapar, diikat Rantai, di beberapa bahagian tubuhnya, rantai itu ditambatkan ke Batang Pohon Sawit. Ada rekan yang menghubungi penulis, sembari mengirimkan nomor hand phone pihak BKSDAnya. Penulis melakukan dialog, dan ternyata didapat kesepakatan, bagaimana cara membunuh Buaya itu. Esok harinya, penulis menghubungi  rekan penulis di TKP. Buaya itu perutnya di Senso masyarakat, yang ditemukan, Kepala, Tangan dan Handuk sang Gadis, bahagian tubuh lain, tidak ditemukan.

MENGAPA SAAT INI BUAYA BERKEMBANG.

Penulis memulainya dari kisah penghancuran alam, Simangalam. Dilokasi mana Ponidi disambar Buaya. Dahulunya adalah merupakan kawasan rawa, atau danau yang bisa disebut Cagar Alam. Ada kawasan lain pendukungnya, seperti Rawa Aek Pidong. Kedua kawasan ini berada di dua Kecamatan Kabupaten Labuhanbatu Utara, dulu masih tergabung dalam Kabupaten Labuhanbatu Raya. Ada Perlintasan Kereta Api disekitarnya, Kereta Api Medan-Rantauprapat.

Manusia-manusia yang ingin kaya, dengan cara penghancuran Alam. Melego kawasan tersebut kepada pihak-pihak Perusahaan, Eskapator alias Beko, diaksikan, dengan ukuran Long Am,  atau lengan panjang.  Luluh lantaklah seluruh Rawa yang pernah menjadi habitat berbagai jenis makhluk air itu. Dan akhirnya saat ini menjadi areal Kabun Sawit, yang justru selalu dilanda banjir. Di Kabupaten Labuhanbatu, sejak jaman Orde Baru sampai saat ini, penghancuran Alam biasa saja terjadi, kalau terjadi Bencana Air Bah, atau Banjir Bandang. Paling beberapa minggu, atau beberapa bulan tuding-tudingan, lantas diam. Biasanya yang dibela petugas justru suara dari pengusaha, Rakyat dianggap usil. Pengusaha dianggap Raja, karena punya uang. Lihat saja kawasan Bukit Barisan masih dibilangan Kecamatan Aek Natas, antara Aek Natas dengan Labuhanbatu Selatan. Rompal, dihajar alat-alat berat,itu kelihatan dari Jalan Lintas Sumatera, enggak ada yang peduli.  Pengusaha jual Batu alam entah kemana saja. Suara Rakyat yang perotes tidak pernah didengar, kalau terjadi Bencana Alam, enggak sulit cari Kambing Hitam. Kebetulan dilokasi itu juga banyak Kambing Hutan. Masyarakat akhirnya bungkam, itu mending. Di Jaman orde Baru lebih sadis lagi, protes atas penghancuran alam, jutru selalu dituding "PKI".

Nasib Rawang, atau Danau Simangalam, dan Rawang Aek Pidong, adalah ekses dari perbuatan terkutuk manusia, yang lupa dikutuk menusia lain. Karena ada uang untuk diklutuk.  Buaya-buaya, dan makhluk air lainnya sakit hati, karena dipaksa hengkang. Alur Sungai Simangalam itu langsung ke Sungai Kualuh, di hilirnya Sungai Kualuh ini semakin besar sebelum menyentuh Selat Malaka Ada satu kawasan yang disebut Sungai Apung. Kawasan ini dikenal memiliki Potensi Ikan Sungai yang besar. Disini juga Buaya banyak berdiam. Buaya mendiami Kawasan Sungai Kualuh, sejak dari Tanjung Pasir, sampai ke Teluk Piyei. Jalur yang kalau dilintasi naik Perahu Motor, bisa satu hari penuh.

Disamping Sei.Kualuh, Sungai Bilah yang di Backing Sungai Merbau, menduduki rangking kedua di kawasan Labuhanbatu Raya, yang kaya dengan Buaya. Barulah Sungai Barumun, yang mengalir dari Tapanuli Selatan menuju Labuhanbatu. Sungai ini, jumlah Buayanya adalah ranking ketiga. Mengapa Populasi Buaya dalam beberapa tahun terakhir, terlihat meningkat.

Di Era Orde Baru, perambahan Hutan dikawasan Kabupaten Labuhanbatu Raya ini, cukup Populer. Bahan Kayu tidak hanya sekedar dijadikan bahan setengah jadi, Papan atau Broti. Hanya sekedar diraracip jadi Balok-balok Tim, lalu diselundupkan ke Malaysia. Saya penulis tahu betul, dan selalu ribut melalui Media Masa. Jenuh, enggak ada hasilnya perambahan jalan terus. Habis Hutan, giliran tanahnya dilego para calo, dibacking oknum-oknum tertentu. Ijin lokasi sebagai modal jual beli lahan Perkebunan. Rakyat hanya kebagian kerak-keraknya, kalau menggarap berhadapan dengan perusahaan, hasilnya kalah. Ada Bupati hanya untuk membela kepentingan Perusahaan yang Komplain dengan Rakyat , tidak segan-segan mengeluarkan Rekomendasi Bodong. Setelah Kalah pada Pilkada lima tahun  lalu, sekarang ikut lagi. Ngaku-ngaku lagi, sebagai Bupati yang berhasil membela kepentingan Rakyat Banyak.

Dari ekses-ekses buruk perambahan hutan waktu lalu , menyebabkan Perairan Sungai di Kabupaten Labuhanbatu ramai dilintasi oleh Perahu-perahu motor yang hilir mudik, mayoritas mengangkut hasil kayu jarahan, Ke wilayah Pantai Labuhanbatu. Ramainya lalu lintas Sungai, menyebabkan Buaya enggan memperlihatkan diri, terganggu. Begitu juga Populasi Buaya mengalami hambatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun