Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memanusiakan Penyair

9 Januari 2017   10:09 Diperbarui: 13 Maret 2017   00:00 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
LK Ara (Foto: Zulfaisal Putera)

Rabu pagi (12/10), di hari kedua kegiatan Hari Puisi Indonesia (HPI) 2016 yang lalu, sambil mengenalkan lingkungan Taman Ismail Marzuki kepada teman yang baru pertama ke sana, saya bertemu lagi dengan penyair sepuh dari Banda Aceh, LK Ara, setelah pertemuan sehari sebelumnya. Saat itu, beliau sedang menikmati segelas teh di salah satu warung yang memenuhi sisi jalan masuk TIM. Walau tampak terlihat lelah, senyum cerah dan suara lembut beliau tetap menyapa saya.

Kepada penyair kelahiran 12 November 1937 tersebut saya bertanya kabar beliau dan ingin tahu tidur di mana sepanjang malam tadi. LK Ara menjawab dengan kalimat, "Bolehkah saya tidak menjawab?" Namun, akhirnya beliau memberitahu saya, "Saya tidur di warung ini. Itu masih ada bekas tempat saya tidur, tiga kursi bersusun dempet!" Saya pun kaget dan lanjut bertanya, "Mandi di mana?" Kemudian jawabnya, "Numpang mandi di warung ini juga!" katanya sambil senyum kecut.

Saya trenyuh mendengar jawaban LK Ara, penyair yang cukup dihormati di jagad kesastraan Indonesia itu ternyata tidur di warung hanya agar bisa tetap menghadiri acara bergengsi HPI yang dikelola oleh sesama penyair juga. Saya jadi teringat akan penyair muda Makasar, Andi Rewo Batari Wanti, peserta HPI 2015 tahun lalu, yang tidur di atas panggung selama dua malam (baca kembali esai saya “Rewo dan Nasib Sastrawan”, Banjarmasin Post, Minggu, 13/9/2015).

Peserta HPI yang datang dari seluruh Indonesia memang tidak ditanggung akomodasi, apalagi transportasi, oleh panitia, Yayasan Hari Puisi dan Indopos. Hal ini sudah dimaklumi sejak HPI pertama, 2013 sampai tahun ini. Justru ini yang menjadikan perhelatan setahun sekali para penyair Indonesia luar biasa. Betapa magnet HPI dan keinginan bersilaturahmi sesama penyair dan budayawan menarik minat para penyair walau harus rogoh kocek sendiri atau usahakan bantuan biaya transportasi dan penginapan.

Namun demikian, para penyair seperti merasa mendapat panggung bersama di HPI. “Panggung Apresiasi HPI” yang dilaksanakan di halaman parkir TIM, misalnya, memberikan kesempatan bagi ratusan deklamator untuk baca puisi dan bermusikalisasi. Begitu juga acara “Parade Puisi” di dalam gedung, menjadi tempat para deklamator terpilih bisa baca puisi bersama pejabat dan pengusaha terpilih. Belum lagi “Anugerah HPI” yang memilih buku puisi terbaik yang disertakan para penyair dengan hadiah menggiurkan. Pokoknya, HPI benar-benar memanusiakan penyair Indonesia.

Tentu penyair Indonesia perlu berterimakasih kepada tokoh Rida K. Liamsi, Agus R. Sarjono, Asrizal Nur, Maman S. Mahayana, Ahmadun Yosie Herfanda, Jamal D. Rahman, dan Kazzaini H.S. sebagai penggagas HPI. Begitu juga kepada para deklarator, salah satunya Micky Hidayat dari Banua, saat di Pekanbaru, 23 November 2012 menetapkan tanggal lahir Chairil Anwar, 26 Juli sebagai hari puisi. Berbanggalah tersebab hanya puisi yang punya hari untuk diperingati di Indonesia. Sementara cabang sastra lain tidak punya hari. Jika juga ada, hari untuk tingkat dunia, seperti Tari dan Teater.

Tidak gampang menyelenggarakan kegiatan akbar semacam HPI. Wajar jika ada catatan tercecer, seperti acara baca puisi. Ada kesan dikotomi antara penyair yang baca puisi di halaman parkir dengan di gedung. Diketahui yang baca puisi di gedung adalah penyair ‘pilihan’, antara lain para deklarator serta pejabat dan pengusaha yang dimintai kontribusi; sementara yang baca di halaman boleh siapa saja. Jika ingin memanusiakan, lebih elok jika semuanya baca di gedung. Bedakan saja waktu bacanya dengan mereka yang terpilih dan bayar. Soal ongkos sewa gedung, itulah tantangan buat panitia.

Apa yang terjadi dengan penyair sekelas LK Ara tentang tempat akomodasinya yang bisa dianggap tak manusiawi juga perlu menjadi pelajaran. Tak masalah soal tak disediakannya akomodasi oleh panitia, tetapi paling tidak panitia mengetahui. Itulah perlunya registrasi terstruktur setiap peserta yang datang, dari data pribadi, tempat menginap, jadwal pulang, dan sebagainya, agar panitia bisa mengantisipasi dan memberikan saran solusi. Ini wajar dalam sebuah perhelatan nasional agar tak ada lagi peserta yang menggelandang.

Ke depan patutlah merenungi kutipan puisi dari LK Ara yang ditulisnya saat tidur di warung itu : … / Di mana tidur semalam / Di sebuah cafe kenalan / Kursi disisikan kasur digelar / Di situlah tubuh direbahkan / Ada seniman wanita ketika ditanya / Tak jelas jawabnya / Di emperan gedung Graha Bhakti / Atau di Teater Kecil / Pokoknya saya tidur dan pulas, katanya / Seseorang lelaki berkaos agak kumal / Angkat bicara / Para penyair kan datang dari seluruh Indonesia / Acara ini kan setahun sekali / Memperingati hari puisi / Sepertinya panitia kurang peduli / … ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun