Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gelar Profesor

23 Juni 2016   07:40 Diperbarui: 24 Juni 2016   07:19 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara tahun 80–90, di pasar Antasari lama (sebelum berubah menjadi Pasar Antasari Baru atau Pasar Hanyar), ada penjual obat bernama Mr. Yogi. Lengkapnya Yogi Alfonso. Entah nama benar atau tidak, tak jelas, seperti tak jelasnya obat apa yang dijualnya. Untuk menarik perhatian pengunjung yang merubung, dia suka menusukkan dua paku panjang dengan cara dipukul ke dalam dua lubang hidungnya.

Entah siapa yang memulai, orang-orang di pasar yang melihat aktivitas keseharian penjual obat itu selalu menyapanya dengan sebutan Profesor Yogi. Mungkin karena melihat tampilannya yang seperti tokoh profesor di film kartun, muka dengan dahi berkerut dan rambut perak menjurai gelombang serta terkesan kurang terurus. Gelar profesor itu tentu hanya panggilan akrab.

Tak ada yang persoalkan sebutan profesor pada Mr. Yogi. Namun, tidak pada Rhoma Irama. Ketika akan mencalon diri sebagai Presiden RI Tahun 2014, Rhoma bubuhkan gelar profesor di depan namanya. Menurutnya, gelar itu diberikan American University of Hawaii (AUH) karena karya lagu dangdutnya. Padahal, sumber detikcom menemukan AUH ternyata tak punya akreditasi dari pemerintah mana pun, bahkan tak punya mahasiswa.

Publik heboh. Akademisi apalagi. Maka ramailah para profesor asli memberi tanggapan. Rhoma dianggap tak layak mengampu gelar profesor karena tak punya karya ilmiah. Lagu-lagu dangdut Rhoma yang ratusan itu tak masuk kriteria karya ilmiah. Padahal menurut saya, tidak mudah membuat lagu yang demikian indah dan bertahan lama; sama tidak mudahnya membuat karya ilmiah. Tapi siapa yang peduli.

Gelar profesor atau biasa juga disebut guru besar adalah jabatan fungsional yang bisa diraih oleh profesi dosen, demikian menurut UU No. 14 Tahun 2005. Ada tiga jenjang yang harus dilewati untuk mencapai Guru Besar, yaitu Asisten Ahli, Lektor, dan Lektor Kepala. Itupun harus bermodalkan gelar tertinggi S-3 alias Doktor. Dan ini yang penting, profesor harus banyak menulis buku dan menyebarluaskan gagasannya.

Foto : supermujer.com.mx/
Foto : supermujer.com.mx/
Muncul pertanyaan, sudahkan para profesor asli itu menghasilkan banyak buku dan karya yang bisa dinikmati bukan hanya masyarakat ilmiah tetapi juga rakyat awam? Ataukah mereka sudah merasa cukup dengan jabatan guru besar itu dan asyik mengajar di sana sini? Tentu banyak juga profesor yang punya banyak karya. Di dunia sastra dan budaya, sebutlah Prof. Dr. Budi Darma, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, dan Prof. Dr. Andries Teeuw.

Terlepas dari itu, masyarakat kita juga pandai menghargai tokoh yang menulis dengan menyapanya sebagai profesor walau sebenarnya yang bersangkutan belum meraih itu. Sebutlah kritikus sastra Maman S. Mahayana yang hanya S-2 sering disapa dan ditulis Prof. dalam setiap kesempatan. Begitu pun Viddy A.D. Daery atau Ahmad Anuf Chafiddi yang hanya S-1, juga dipanggil Prof hanya karena keseringan jadi pembicara sampai ke luar negeri.

Ingat dengan ulama dan sastrawan besar negeri ini, Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka? Secara formal beliau hanya sekolah dasar, itu pun tidak tamat. Selanjutnya belajar otodidak sampai ke Mekkah. Banyak karya penulisan yang dilahirkannya. Buahnya, Hamka mendapat dua gelar Doktor (HC), dari Universitas al-Azhar, Cairo (1959) dari Universitas Nasional, Malaysia (1974) serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.

Saya kurang tahu apakah urang Banua banyak yang bercita cita menjadi profesor. Banyak cara yang bisa ditempuh. Kuliah yang giat hingga capai S-3 dan jadi guru besar; menulis dan berkaryalah yang banyak hingga masyarakat merasakan manfaatnya; jadilah pembicara di mana saja; atau cara terakhir, jadi tukang obat. Tentu semua berpulang kepada anggapan, apakah Anda layak disebut profesor! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun