Mohon tunggu...
Zuhdi Robbani
Zuhdi Robbani Mohon Tunggu... Programmer - Web Developer

Seorang Programmer yang mencurahkan isi hatinya dalam sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kemerdekaan yang Lalu, Kini, dan Nanti

17 Agustus 2022   14:15 Diperbarui: 17 Agustus 2022   14:17 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Percikan air perlahan membasahi tanah lapang. Air hujan pertama sudah jatuh diikuti oleh tetesan lainnya. 17 Agustus 2022. Di Kota Tangerang. Sebuah kota yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota, Jakarta. Setidaknya masih menjadi Ibu Kota per-tulisan ini dibuat. Entah apakah hanya aku atau juga dirasakan oleh jutaan insan lainnya. 17 Agustus hanya seperti tanggal merah biasa. Bahkan terkadang sama seperti hari biasa. Karena semenjak Pandemi ini  melanda, aku selalu bekerja di rumah. Bersama dengan gemercik hujan yang turun, ku seruput secangkir kopi dan mengetik sebuah tulisan ini.

Lalu apakah ada yang berbeda? Tentu ada. Banyak ornamen bendera merah-putih dan pernak-pernik lainnya sepanjang jalang selepas aku mengantar sang kekasih hati berangkat kerja. Pernah-pernik yang sebenarnya sudah disiapkan di hari-hari sebelumnya. Lomba-lomba juga mulai banyak. Tetapi tetap sama format dan konsepnya dengan tahun lalu yang sudah kutebak lomba apa saja yang diperlombakan. Sesekali tersenyum menatap layer ponsel. Karena banyak video-video lucu terkait perayaan lomba di tempat masing-masing.

Aku menghembuskan napas panjang. Apakah kemerdekaan ini hanya benar-benar sekadar seremonial belaka? Atau lebih dari itu? Apakah aku benar-benar telah merdeka? Realitanya tidak semudah berbicara 'Ya kita sudah merdeka'.

Jika aku terlahir ratusan tahun lalu dan menjadi ambil bagian dari para pejuang kemerdekaan. Maka makna kata merdeka menjadi sangat berbeda. Kata kemerdekaan yang terkadang hanya dimaknai sebagai bentuk seremonial semata.

Perjuangan, keringat, darah, hingga nyawa pun menjadi taruhannya. Sekarang ketika suasana damai ini. Entah apa maksud dari kata merdeka itu. Jika aku terlahir dari keluarga menengah masih merasakan kebahagiaan apakah rasa yang sama juga di rasakan oleh masyarakat bawah? Apakah mereka sudah menikmati kemerdekaan ini? Mereka masih dibebani dengan setumpuk masalah. Jangankan berbicara tentang mimpi dan impian. Bagaimana mereka bisa menjalani kehidupan sehari-hari saja sudah seperti menanggung beban yang begitu beratnya.

Harga-harga perlahan naik merangkak, permasalahan korupsi bantuan sosial, tidak tegaknya keadilan di Bumi pertiwi. Perpecahan antar anak bangsa. Gesekan rasial dan antar kelas. Para pejabata berlaku sewenang-wenang pada Amanah yang sudah diberika.

Para pemuka agama yang bisa jadi kehilangan 'agama'-nya. Para penegak hukum yang justru malah jadi pelanggar hukum. Para pengusaha yang memotong dan memangkas hak para pekerjanya. Para elit dan konglomerat yang berkongsi untuk semakin menumpuk kekayaan dan mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Masyarakat adat yang semakin terpinggirkan. Berbagai tetek-bengek masalah yang jika ditulis bisa menghabiskan ratusan hingga ribuan kertas. Satu hal yang pasti, kini kata merdeka bisa berbeda dan mengalami perubahan makna.

Merdeka bukan hanya tentang kata 'merdeka'. Kini bisa berubah menjadi suatu brand media. Slogan partai atau pejabat publik. Gerakan separatis berbungkus kriminal bersenjata. Program pemerintah yang bisa di-korupsi oleh para pejabat yang tak Amanah. Nama paket promo dari restaurant cepat saji yang brand-nya saja tidak mencerminkan semangat Nasionalisme -- Karena dimiliki oleh asing.

Merdeka kini bukanlah suatu hal yang begitu spesial. Bukan salah pemerintah yang tidak menggalakkan semangat nasionalisme. Bukan juga salah masyarakat yang semakin acuh tak acuh terhadap negara. Melainkan waktu yang sudah berbeda. Bayi-bayi dan anak-anak sekarang tidak akan pernah tahu bagaimana perjuangan para pahlawan di era kemerdekaan. Jangankan anak-anaknya, bapak-bapaknya saja mungkin sudah lupa sejarah bagaimana ceritanya Negara ini bisa merdeka. Hanya Sebagian orang tua dan segilintir orang yang bergelut di sejarah yang mungkin paham bagaimana menderitanya masyarakat dulu. Bagaimana para petani dan buruh berbondong-bondong ke balai warga untuk mendengarkan orasi dari Bung Karno. Bagaimana ceritanya bisa keluar fatwa Jihad menyerbu penjajah oleh Hadratus Syaikh Hasyim Ashari. Merekalah yang benar-benar mengerti makna kemerdekaan dulu dan kini.

Lantas bagaimana dengan Kemerdekaan nanti? Ah, aku hanya ingin membayangkan saja. Bisa jadi ini hanya sebuah utopia yang tak akan pernah terwujud. Terwujud Alhamdulillah, tidak pun tak apa. Namanya juga mimpi. Kuharap orang-orang yang membacanya juga sama bisa mengenggam mimpi ini bersama.

Kemerdekaan nanti orang-orang akan berbondong-bondong merayakan kemerdekaannya. Bukan hanya diperingati pada tanggal 17 Agustus saja. Tetapi bisa jadi setiap hari. Karena mereka sudah menemukan kata sejahtera di hidupnya. Mereka merasa Makmur hidupnya terpenuhi. Memiliki kerjaan layak dan digaji besar. Kata miskin hanyalah sebuah mitos. Karena orang-orang sudah bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun