Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti Melunturkan Spirit Demokrasi

19 Juli 2018   16:09 Diperbarui: 19 Juli 2018   16:21 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Trisno Mais, SAP, Mahasiswa Pascasarjanah Unsrat

MENOLAK politik dinasti itu harus! Yang karena itu merupakan gambaran sikap kritis atas sebuah fenomena politik. Olehnya itu, adalah harus terus merawat kekritisan warga negara dalam melihat perjalanan demokratisasi di Indonesia. Yakni, perlu pemahaman yang komprehensif atas fenomena sosial politik yang kerap diperlihatkan oleh elit. Realita saat ini menunjukan masifnya gerakan melanggenkan praktik politik dinasti. Padahal politik dinasti merupakan 'anak haram' dari demokrasi itu sendiri.

Namun di satu sisi, elit cenderung senang mengecewakan warga dengan praktek -- praktek sejenis itu. Politik dinasti menyuburkan laku nepotisme dan sejenisnya. Bahkan, dalam kebijakan politik atau yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik, sepertinya hampir tak bisa terhindarkan. Rakyat mestinya kritis! Dan, tidak ada alasan untuk tidak berlagak demikian. Wujud kekritisan warga paling tidak ikut meminimalisir anomaly politik. Misalkan, perilaku yang melanggenkan politik dinasti.

Dalam perspektif Ibn Khaldun (1332--1406), politik dinasti dinamakan ashabiyah (group feeling). Ibn Khaldun dalam The Muqaddimah an Introduction to History (1998) menyebut politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah. Sebab, umumnya penguasa selalu ingin merekrut orang yang memiliki hubungan kekerabatan sebagai bawahannya.

Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A G N Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. 

Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural.

Bagi banyak spesialis, tata aturan kekerabatan tidaklah secara teoritis mengesampingkan aturan politik. Menurut definisi Morgan terdahulu, kekerabatan megatur keadaan socitas dan yang kedua, mengatur civitas. Atau menggunakan terminologi yang sering digunakan sekarang ini yang pertama merujuk pada struktur-struktur respositas dan kedua merujuk pada dikotomi yang jelas.

Dalam kasus ini, ada dikotomi yang jelas yang dikotomi ini pun tampil dalam teori Marxis. Dimana masyarakat berkelas dan negara adalah hasil dari terpecahnya komunitas- komomunitas primitif, serta politik muncul dengan menghilangnya ikatan-ikatan hubungan darah personal. Hal ini sering ditemukan dalam tradisi filsafat, terutama fenomenologi Hegel yang membuat oposisi paralel antara yang universal dengan yang paralel yaitu antara negara dan keluarga, wilayah maskulin dengan wilayah femini dan lain sebagainya.

Terminologi politik dinasti di atas yang telah dijabarkan  paling tidak sedikit membuka cakrawala berpikir sebagai warga negara yang kritis, tidak mudah terus - menerus 'disakiti' dan diberi janji yang koruptif. Pun, agar tidak dijadikan sebagai objek 'pembodohan yang berjemaah' semata dalam setiap hajatan pesta demokrasi, nanti.

Pemilih yang transaksional, pastinya melahirkan pemimpin yang koruptif. Kedua hal tersebut bagaikan dua mata uang logam yang tak bisa dipisahkan. Untuk menghindarinya, butuh kesadaran politik. Yakni, terus merawat kewarasan politik dengan menolak politik transaksional dan melanggenkan cara -- cara pragmatis.

Secara eksplisit politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang sebabnya masih terkait dalam hubungan keluarga. Ini lebih indentik dengan kerajaan. Sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun - temurun dari ayah kepada anak dan bahkan kerabat keluarganya. Tujuannya jelas, agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun