Mohon tunggu...
Rick Matthew
Rick Matthew Mohon Tunggu... -

...............

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ironisme Agama Samawi & Agama Ardhi

1 April 2011   14:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:13 2430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Selama ini yang terbersit di pikiran, jika ada yang mneyebutkan agama samawi dan agama ardhi, adalah asal agama-agama di dunia yang terbagi dua yaitu agama langit (melalui wahyu) dan agama hasil pemikiran manusia (agama bumi).

Apakah selamanya begitu ? Tidak juga. Jika dilihat dari tujuannya, yang terjadi adalah kebalikannya. Agama Samawi adalah agama langit yang bertujuan supaya pihak bumi bisa mengerti tentang langit (dimulai dengan inisiatif pihak langit). Oleh karena itu, pemahaman dalam agama samawi melibatkan penggambaran yang ada di bumi / hal-hal yang diindera / hal-hal yang dibentuk oleh manusia seperti, kerajaan, sifat-sifat manusia, gembala, anak, Bapa, hukuman, penghakiman, raja, dll. Intinya 'membumikan' yang ada di langit, supaya yang dibumi mengerti.

Sedangkan Agama Ardhi, dengan inisiatif manusia sendiri, bertujuan mencoba memahami alamnya maupun alam-alam lain termasuk langit dengan menggunakan nalar, pengamatan dan pengalamannya bahkan dengan tujuan mendekatkan diri sebisa mungkin / semaksimal mungkin dengan langit.

Apakah Agama Samawi lebih baik dari Agama Ardhi ? Belum tentu. Langit tidak bisa 'dibumikan' tanpa resiko / 100% tanpa perubahan arti. Mungkinkah Tuhan membukukan diriNya sendiri ? Mau setebal apa buku itu ? Kalaupun sudah dibukukan, pasti ada penyesuaian-penyesuaian dan menggunakan 'hal-hal bumi' untuk menggambarkanNya. Lebih jauh lagi, buku surgawi ini tidak boleh diganggu gugat. Kalau ditemukan ada yang salah berarti yang membaca dan memahaminya-lah yang salah. Bukti-bukti kebesaran / keagungan ilahi yang ada di bumi HARUS sesuai dengan buku surgawi ini. Kalau tidak sesuai, ya DISESUAIKAN. Dengan demikian manusia di mata Agama Samawi ini adalah benar-benar lemah dan dilemahkan secara mind-setting.

Sedangkan di Agama Ardhi, asalkan pengalaman anda benar dan membawa kepada ketenangan hati, itu berarti hal yang benar untuk dilakukan. Tidak harus dengan pengalaman, pengamatan pun bisa berlaku hal yang sama. Manusia berperan penuh pada dirinya sendiri untuk mencari jalan menuju langit (ilahi). Agama Ardhi tidak butuh bukti kebesaran Tuhan, cukup dirasakan kehadiranNya, tanpa perlu dibuat-buat. Bahkan tidak perlu menggambarkan Ilahi, karena hanya akan sia-sia.

Dari sini, sangat mungkin  perdebatan :

Ah masa sih ? Manusia 'kan bisa berbuat salah. pengalaman juga bisa salah. Jadi tidak tepat mengandalkan manusia sendiri. Inilah hasil mind-setting di Agama Samawi. Kenapa tidak berpikir sebaliknya ? Manusia juga masih bisa berbuat benar. Pengalaman juga bisa dianalisa dan dipilah-pilah. Agama Ardhi memberikan kebebasan pada manusia untuk menentukan perbuatannya sendiri dan arah hidupnya sendiri.

Agama Ardhi itu sombong! Manusia tidak mungkin tidak butuh campur tangan Tuhan.Itu hanyalah pernyataan Pihak Agama Samawi sendiri yang merasa kebenaran di pihaknya tidak berlaku universal padahal katanya bukunya dari surga.

Karena Agama Samawi muncul setelah adanya Agama Ardhi, berarti Agama-agama Ardhi sebelumya sudah tidak berlaku. Ini lagi-lagi hasil mind setting dari buku surga yang tidak boleh diganggu gugat. Agama Ardhi tidak pernah membatalkan agama-agama manapun berdasarkan urutan waktu kemunculan (sebelum atau sesudahnya), tapi malah diperlakukan seperti 'barang buangan'. Timbulah pertanyaan balik : Kenapa buku dari surga ini malah membawa potensi permusuhan yang mana bumi tidak pernah kekurangan akan hal ini? Bahkan, lebih buruk lagi menghalalkan pembunuhan jika untuk menjaga buku surga, inikah namanya buku surga yang memuat keilahian?

Kesimpulan yang sangat ironis : Agama Ardhi lebih 'samawi' dari Agama Samawi itu sendiri. Sebaliknya, Agama Samawi lebih Ardhi dari Agama Ardhi itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun