Mohon tunggu...
Ahmad Ziyaul Wahid
Ahmad Ziyaul Wahid Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku bukanlah aku yang kupahami

-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Renatus Cartesia (Bagian Dua: Lilin dan Tuhan)

14 Agustus 2020   13:11 Diperbarui: 14 Agustus 2020   13:28 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Renatus terlalu galau tentang ‘sesuatu’ dan ‘berpikir’ –sebagaimana penulis sebutkan di bagian lalu, dia lantas mencoba menjelaskan dengan tepat apa itu ‘saya’ yang berhubungan dengan ‘sesuatu’ dan ‘hal yang dipikirkan’ sebagai objek dari ‘berpikir’. Kegalauannya membawa kepada sebuah kesimpulan bahwa dia bukan hanya sesuatu yang berpikir, mengerti, dan kehendak, tapi juga sesuatu yang imajiner sekaligus indrawi. Sebagai langkah pelibatan dirinya secara aktus dalam sebuah contoh konkret –sekaligus imajiner, dia membayangkan mengambil sepotong lilin yang baru saja diambil dari sarang lebah.

Pertama-tama ia mempertimbangkan apa yang bisa diketahui tentang potongan lilin melalui indera, lantas dia memancing dengan pertanyaan, “Apa yang terjadi saat potongan lilin ditempatkan di dekat api? Lalu, lilin itu meleleh dan semua kualitas yang masuk akal itu berubah?” Dia lalu menjelaskan: “Bagaimanapun, kita mungkin mengatakan ‘aku melihat lilinnya’ meskipun dengan mengatakan bahwa kita mengacu pada lilin karena akal mampu melihatnya secara eksis, bukan hanya warna atau bentuknya. Ini mirip dengan cara kita bisa mengetahui seseorang di jalan meskipun yang terlihat hanya hal-hal aksidental seseorang itu saja.”

Statemen-statemen yang diuraikannya menyiratkan bahwa pengetahuan rasional lebih baik daripada pengetahuan empiris. Hanya akal yang bisa mengatur dan memahami apa yang manusia rasakan, sementara indera hanya melihat secercah informasi yang terputus –akal adalah apa yang membantu kita untuk memahaminya. Hal-hal di atas, berimplikasi pada cara pandang Renatus terhadap eksistensi Tuhan, yang memang tak mungkin dijangkau secara empiris.

Renatus terpaksa ragu pada sesuatu yang ia percayai secara empiris sebelumnya, sebab dia tidak merasakan sesuatu secara langsung, tapi hanya gagasan, atau pemikiran, dari hal-hal itu, yang muncul di hadapan pikirannya. Renatus mungkin pernah mengaku tentang bagaimana dia memahami Tuhan melalui Aritmatika dan Geometri, meski ia sadari mungkin saja Tuhan sendiri menipunya, sehingga dia tidak dapat  benar-benar yakin. Maka dari itu, sebagai upaya meyakinkan dirinya sendiri –dan supaya dirinya tidak tertipu lagi, dia merasa harus menyelidiki sifat Tuhan.

Syahdan, yang dia temukan pertama, hanya ada gagasan, misalnya ketika bagaimana ia memikirkan seorang pria berjalan tertunduk lesu, awan yang menggerakkan langit, malaikat kecil terbang membawa  panah, dan Tuhan itu sendiri. Lantas, semua itu melahirkan kehendak, emosi, dan penilaian, di mana sebuah gagasan merupakan objek pemikiran yang bisa jadi menegaskan gagasan-gagasan sebelumnya maupun sebaliknya, menjadi sebuah refleksi ketakutan akan gagasan yang ada sebelumnya yang diarahkan pada objek pemikiran –mengingat gagasan dalam pikiran hanya sebagai cara berpikir dan tidak merujuk pada sesuatu di luar pikiran, yang mana seharusnya membuat sebuah gagasan menjadi kebal dari keraguan.

Renatus kemudian membandingkan asumsi alaminya –bahwa gagasan-gagasan yang mewakili benda-benda di luar pengetahuannya itu pasti ada. Setelah memastikan bahwa dia ada dan bahwa dia adalah orang yang berpikir, dia mencoba menentukan bagaimana dia bisa mengetahui hal-hal tersebut. Dia menyimpulkan bahwa pengetahuannya tentang cogito dan res cogitans adalah persepsi yang jelas dan berbeda. Dengan demikian, ia menyimpulkan, semua persepsi yang ‘jelas’ dan ‘berbeda’ harus dapat dipastikan. Alasan tersebut mungkin tampak sedikit membingungkan, sebab di satu sisi, cogito bersifat pasti karena jelas dan bisa dirasakan, namun di sisi lain,  persepsi yang jelas dan berbeda juga kadangkala bersifat pasti sebab ia adalah cara di mana kepastian cogito tercapai.

Renatus sangat tertarik pada penilaian karena bersifat relatif, sehingga relatifitas tersebut boleh jadi mengelirukan, bisa membuat keliru. Karenanya, ia merasa wajib untuk mengidentifikasi sumber kesalahan dan keraguan sebagai upaya meminimalisir kekeliruan. Sebagian besar kesalahan dalam penilaian berkaitan dengan mengidentifikasi hal-hal material, karena di situlah pikiran mencoba untuk menilai mengenai hal-hal di luarnya.

Jayne Mansfield, misalnya. Artis Hollywood yang katanya dijadikan alat untuk menggoda Soekarno tersebut dianggap cantik karena memiliki bibir sensual, mata lentik, lenggok menggoda dan suara yang diidamkan lelaki, yang mana penilaian tersebut dinilai berdasar aspek luar yang tampak pada Jayne. Berbeda dengan sosok Fatmawati yang justru tiba-tiba mencuri hati Soekarno karena keanggunan dan kecerdasannya ketika hidup di pengasingan. Sampai Soekarno merayunya dengan berkata: “Aku seorang pemimpin yang ingin memerdekakan bangsanya dari Belanda. Tapi, rasanya aku tak sanggup meneruskan bila kau tak menunggu dan mendampingi aku. Kamu cahaya hidupku, untuk meneruskan perjuangan yang maha hebat dan dasyat.” Hal-hal adventif seperti itu yang justru seringkali tidak disadari secara umum.

Renatus memang sangat memperhatikan ide-ide adventif  yang memang tidak inheren namun ditambah secara ekstrinsik. Dia menyadari bahwa kita sering menganggap bahwa kita merasakan sesuatu di luar pikiran kita tanpa tingkat kepastian atau pembenaran. Kembali lagi pada permasalah Tuhan ala Renatus, bila menganggap Tuhan sebagai ‘substansi yang tak terbatas, abadi, kekal, mandiri, sangat cerdas, sangat kuat, dan yang menciptakan diri manusia dan hal lainnya’, Renatus menyadari bahwa gagasan tentang Tuhan pasti memiliki realitas yang jauh lebih obyektif daripada yang dia miliki. Tuhan adalah dzat tak terbatas sedangkan dia hanya substansi yang terbatas. Karena gagasan tentang Tuhan tidak mungkin berasal dari dirinya sendiri, dia menyimpulkan bahwa Tuhan pasti penyebab dari gagasan ini dan karenanya harus ada.

Sementara dia bisa meragukan adanya hal lain, dia tidak bisa meragukan keberadaan Tuhan, karena dia memiliki persepsi yang jelas dan berbeda tentang eksistensi Tuhan. Gagasan tersebut memiliki realitas objektif yang tak terbatas, dan karena itu lebih mungkin benar daripada gagasan lainnya. Renatus selanjutnya merumuskan tiga alasan dalam menentukan eksistensi Tuhan. Pertama, Tuhan itu adalah benar secara sempurna; kedua, jika ada perbaikan, maka tidak akan pernah mencapai kesempurnaa, yang mana kesempurnaan adalah sesuatu yang final, tak ada ruang untuk perbaikan lagi; ketiga, kesempurnaan tidak memiliki potensi untuk berubah, yang pada akhirnya Renatus selalu berpikir secara dalam berpikir bahwa jika dia bisa eksis tanpa Tuhan, dia pasti berasal dari dirinya sendiri, atau dari orang tuanya, atau dari orang lain yang kurang sempurna dari pada Tuhan. Jika dia mendapatkan keberadaannya dari dirinya sendiri, tidak ada alasan bahwa dia harus memiliki keraguan dan keinginan. Jika pencipta ini adalah makhluk yang terbatas, kita masih harus bertanya sehubungan dengan hal itu bagaimana ia bisa memiliki gagasan tentang Tuhan yang tak terbatas.

Kita bisa melacak rantai ini kembali melalui pencipta yang tak terhitung jumlahnya, namun akhirnya kita harus menyimpulkan bahwa gagasan tentang Tuhan hanya bisa berasal dari Tuhan, dan tidak berasal beberapa makhluk yang terbatas. Betullah yang tertulis dalam Serat Rasa Sejati: “Rasa sejati pinangkanipun sangking Gusti Allah. Tanpa rasa sejati, manungsa mboten leres ingdalem ngarsaning Pengeran.” Wallahu a’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun