Belakangan ini, istilah "eco-friendly" atau "ramah lingkungan" bukan cuma jadi jargon di kampus atau komunitas pecinta alam. Ia telah menembus tren gaya hidup perkotaan, masuk ke feed Instagram, menjadi bagian dari obrolan warung kopi, bahkan jadi label yang dicari konsumen muda. Dari totebag kain, sedotan stainless, hingga kebiasaan mengurangi fast fashion semua jadi bagian dari gaya hidup baru yang bukan cuma keren, tapi juga punya dampak besar terhadap masa depan bumi.
Tapi, apakah gaya hidup hijau ini cuma sebatas tren visual atau benar-benar mencerminkan perubahan yang signifikan?
Perubahan pola konsumsi yang lebih sadar terhadap lingkungan adalah bagian dari pergeseran nilai masyarakat, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Berdasarkan laporan Deloitte (2023), lebih dari 60% anak muda global menyatakan bahwa mereka merasa cemas terhadap isu perubahan iklim, dan lebih dari 50% sudah mulai mengubah gaya hidupnya untuk lebih berkelanjutan.
Konsumerisme modern kini semakin dipengaruhi oleh nilai-nilai keberlanjutan. Merek-merek besar berlomba-lomba menyematkan kata "eco-friendly", "sustainable", atau "recycled" pada produk mereka. Bahkan, di dunia fashion, konsep slow fashion mulai menyaingi budaya fast fashion yang selama ini mendominasi.
Contohnya, brand lokal seperti SukkhaCitta dan Sejauh Mata Memandang berhasil menyisipkan nilai lingkungan dan etika produksi dalam setiap produknya. Mereka bukan cuma menjual pakaian, tapi juga cerita, transparansi rantai produksi, dan dampak positif bagi lingkungan.
Meskipun banyak yang skeptis dan menyebut gaya hidup ramah lingkungan sebagai "greenwashing" alias pencitraan hijau tanpa substansi---fakta di lapangan menunjukkan adanya perubahan perilaku nyata. Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta, gerakan minim sampah dan urban farming tumbuh subur. Komunitas seperti Zero Waste Indonesia dan Green Movement Yogyakarta menjadi wadah edukasi dan aksi nyata yang konsisten.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, terjadi penurunan volume sampah plastik sebesar 12% di kota-kota yang menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar. Meskipun tidak besar, ini adalah langkah awal yang signifikan jika diteruskan secara kolektif.
Secara teoritis, perubahan gaya hidup merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Dalam kajian sosiologi lingkungan, gaya hidup ramah lingkungan bisa dikaitkan dengan teori praktik sosial oleh Elizabeth Shove (2010) yang menyebutkan bahwa perubahan tidak hanya terjadi karena pengetahuan, tapi karena pergeseran norma sosial, teknologi pendukung, dan struktur institusi.
Misalnya, meningkatnya penggunaan sepeda di kota-kota besar bukan cuma karena sadar polusi, tapi juga karena hadirnya infrastruktur pendukung seperti jalur sepeda dan kebijakan transportasi rendah emisi. Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan gaya hidup saling menopang.
Meski kesadaran meningkat, tantangan terbesar tetap pada konsistensi. Tidak sedikit orang yang masih menjadikan gaya hidup hijau sebagai bagian dari "aesthetic" semata misalnya membawa tumbler untuk konten, tapi tetap membeli air botolan saat tidak direkam. Ini yang membuat gerakan lingkungan sering dicap elitis atau tidak menyentuh akar rumput.