Mohon tunggu...
Arifah Alenda
Arifah Alenda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Halo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apa yang Dirasakan Penderita Gangguan Mental Skizoafektif?

6 Januari 2023   18:25 Diperbarui: 6 Januari 2023   18:31 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

     Sebagian besar masyarakat Indonesia telah mengalami salah satu gangguan jiwa yang disebut dengan "Skizoafektif".

Apa itu skizoafektif?

Dikutip dari sebuah jurnal, Skizoafektif merupakan gangguan yang terdiri dari skizofrenia dan gangguan afektif atau mood. Ditandai dengan timbulnya perasaan kacau, sulit membedakan hal yang nyata dan tidak nyata (fantasi), serta kesulitan berbicara. Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan ini biasanya akan mengalami hal ganjil yang terjadi secara tiba-tiba seperti mendengar suara, melihat sesuatu dan mencium bau yang tidak diketahui dari mana asalnya, atau dapat disebut juga dengan halusinasi visual maupun dengar. Hal tersebut dapat terjadi bersamaan dengan depresi dan manik, yakni gangguan pada pola pikir, perilaku dan perubahan suasana hati.

Penyebab dari skizoafektif ini sendiri belum diketahui secara pasti. Namun beberapa peneliti telah memprediksi beberapa faktor dari kondisi tersebut, diantaranya; berasal dari turunan keluarga; Struktur otak : fungsi dan struktur otak tertentu yang mengalami gangguan; Efek samping obat : pengonsumsian obat psioaktif yang ditujukan untuk mengubah fungsi otak seperti perubahan suasana hati dan pikiran. Mengambil sebuah studi kasus dari seorang mahasiswi berumur 21 tahun. Ia tumbuh dari didikan keluarganya yang cukup keras. Masa kecilnya didominasi oleh perlakuan kurang baik dari orang tuanya.

 Ia mengalami kekerasan verbal dan non-verbal seperti; dimarahi, dibentak, dipukul, dicubit, dijambak, dan masih banyak lagi ketika ia tak sengaja melakukan kesalahan-kesalaahan kecil. Hal itu terus terjadi selama bertahun-tahun sampai akhirnya sang mahasiswi mulai menginjak bangku SMP. Pada masa tersebut, kekerasan non-verbal yang ia terima sudah tak sebanyak masa kecilnya. Perlahan-lahan ia hanya menerima kekerasan verbal yang terkadang membuatnya merasa tertekan akan kata-kata yang dilontarkan kepadanya.

Beruntung, seiring dengan berjalannya waktu semua kekerasan itu sudah tidak ia dapatkan. Meskipun beberapa kali masih ada perasaan 'dipojokkan' oleh orang tuanya, tetapi hal tersebut sudah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan kejadian pada tahun-tahun sebelumnya. Saat ini, ia menjalani kehidupannya sebagai mahasiswi pada umumnya. Namun tak bisa dipungkiri bahwa selalu ada saja masalah yang tidak diinginkan terjadi. Seperti stress karena banyaknya tugas kuliah, sempat merasa kewalahan dalam memegang tanggung jawab sebagai ketua di dua acara, timbulnya masalah keluarga, dikecewakan oleh pasangan dan sahabat, serta masih banyak lagi.

Pada intinya, semua itu berawal dari pengaruh masa kanak-kanaknya yang buruk, kenangan yang tidak akan pernah terlupakan dan saat ini sudah menjadi luka masa kecil yang cukup dalam. Dibuktikan bahwa hingga sekarang mahasiswi tersebut masih mengingat setiap detail kejadian yang pernah dilakukan orang tuanya. Ditambah dengan banyaknya hal negatif yang terus-menerus menerjang alur hidupnya membuat ia semakin merasa terpuruk.

Semua hal di atas sering terjadi secara bersamaan. Hingga akhirnya mahasiswi tersebut mengalami stress berat dan membuatnya berada di titik terendah kehidupan. Tak hanya itu, ia juga sampai tega menyakiti dirinya dengan menyayat, mencakar, memukuli tangan, menjambak rambut serta membenturkan kepalanya ke dinding kamarnya. Sampailah saat dimana sang mahasiswi merasa tak kuasa untuk menahan beban berat itu sendirian, lantas dengan segera ia meminta pertolongan psikiater untuk membantu meredakan rasa 'sakitnya'. Setelah melewati masa tersebut, muncul lah diagnosa sang mahasiswi dengan hasil, "gangguan kejiwaan skizoafektif tipe depresi".

Lantas, hal tersebut sangatlah dapat memengaruhi gaya komunikasi penderitanya. Gaya komunikasi ini didasari oleh cara si penderita merespon atau mengekspresikan perasaannya pada saat gangguan skizoafektif tersebut muncul. Contohnya, pada beberapa kasus penderita mengalami perubahan mood yang cukup drastis. 

Ada saat dimana ia merasakan perasaan senang yang sesenang-senangnya, kemudian tak begitu lama perasaan itu langsung berubah menjadi sedih yang mendalam atau kecewa. Jelas hal ini dapat membuat si penderita merasa tidak nyaman. Tetapi hal ini pun dapat membuat orang-orang yang berada di sekitarnya juga merasakan emosi yang sama dengan melihat tingkah laku dari penderita tersebut.

Pada beberapa kasus pula, penderita skizoafektif sering merasa ingin diperhatikan secara lebih oleh orang-orang di sekelilingnya. Seperti keluarga, kerabat maupun pasangan. Biasanya, mereka akan mengekspresikan perasaan-perasaan negatifnya (untuk mendapatkan perhatian) melalui akun social media yang dimiliki. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun