Kita memulai pembahasan ini dengan melihat terlebih dahulu bagaimana syariah memandang makanan itu sendiri, istilah yang kerennya, kuliner dalam syariah. Beberapa orang mengatakan dengan istilah yang lebih modern, Fiqih Kuliner.
Kalau kita buka kitab-kitab fiqih klasik yang membahas Al-Ath’imah wa Al-Asyribah (makanan dan minuman), kita akan menemukan bahwa syariah tidak pernah membuat klasifikasi makanan halal. Kenapa?
Karena memang dalam syariah, makanan itu aslinya adalah halal semuanya. Jadi kalau dihitung-hitung, makanan halal dan makanan haram dalam pandanga syariah itu lebih banyak makanan halalnya. Bahkan memang semua halal kecuali beberapa jenis kecil makanan saja yang diharamkan.
Tapi yang dibahas oleh para ulama dalam bab kuliner itu ialah kriteria makanan haram, bukan kreteria makanan halal. Karena semuanya halal kecuali yang diharamkan, maka dibuat kriteria keharaman sebuah makanan. Artinya kalau ada makanan yang tidak masuk dalam kreteria ini, ya dia termasuk makanan yang
halal, boleh dikonsumsi.
Kita bahas secara global saja, tak perlu terlalu dalam, yang penting intinya dapat lah gitu. Kalau dilihat dari zat makanan itu sendiri, -artinya makanan ini diharamkan karena memang makanan itu sendiri bukan karena sebab di luar itu-, kita bisa klasifikasi lagi menjadi 2;
[1] Makanan secara umum, dan
[2] Khusus makanan Hewani (yang bersumber dari hewan).
1. Makanan Secara Umum
Kalau makanan secara umum yang non-hewani, entah itu berasal dari tumbuhan, atau juga makanan olahan manusia, kriteria haramnya ada 3 poin;
1.1. Najis
Intinya, kalau najis maka itu menjadi barang yang haram untuk dikonsumsi. Seperti misalnya kotoran hewan, kotoran manusia, air seni, dan juga yang paling populer itu adalah darah denan segala jenisnya. Itu semua diharamkan karena memang najis.