pelaksanaan Konfrensi Internasional tentang "Fatwa" yang diselenggarakan 3 hari lalu, 24-26 desember hasil kerja sama kementrian Agama dan Muslim World League (Robithoh 'Alam Islamy), tidak bisa dikatakan membuahkan hasil dan menjawab tantangan fatwa di INdonesia ini.
pasalnya banyak target-target tidak tercapai. dan masalah-maslah yang banyak terjadi di Indonesia tentang fatwa dan urgensinya itu, juga sampai konfrensi berakhir tidak menemukan jawaban yang "pas". semua masih mengambang.
pelaksanaan konfrensi yang dihadiri para mufti dari 22 negara, yang kebanyakan negara-negara di Asia tersebut, belum berhasil memecahkan masalah "unik" sebuah negara ber-penduduk muslim terbesar di-dunia, Indonesia ini.
dari 3 hari pelaksanaan, pertanyaan dan kegundahan para audiens itu berkutat pada satu masalah besar yang sejak berdirinya Indonesia pun masalah ini belum juga terpecahkan: yaitu
INDONESIA TIDAK PUNYA MUFTI 'AAM
yang dimaksud Mufti 'Aam ialah: seorang Mufti atau lembaga yang menjadi SATU-SATUnya panutan dalam hal rujukan masalah syariah dan sebagai penjawab masalah-masalah syariah komtemporer yang terjadi.
Dan karena beliau atau lembaga tersebut hanya satu, akhirnya masyarakat muslim Indonesia ini, mau tidak mau menjadi MAU mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut.
Dan memang yang berlaku di negara-negara muslim lain di seluruh dunia ini seperti itu. Mereka hanya punya rujukan satu lembaga fatwa yang benar-benar dijalankan karena memang satu-satunya.
Di Eropa, yang berkumpul didalam puluhan negara hanya mempunyai SATU lembaga Syariah bersama, yaitu MAJMA’ AL-FIQH AL-AURUBA (Akademi Fiqih Eropa). Dan fatwa-fatwa yang dikeluarkannya pun menjadi rujukan muslim eropa, dan mereka mentaati itu. Bahkan dalam beberapa hal, keputusan majma’ tersebut menjadi landasan hukum di pengadilan yang dikhususkan untuk muslimnya saja.
Kalaupun ada, ya itu ada di saudi yang mempunyai lembaga Fatwa 2, yaitu Majma’ Fiqih milik Robithoh dan Lembaga Fatwa Lajnah Daimah (a.n. Dewan Ulama Besar Saudi). Pun kedua lembaga tersebut berjalan seiringan, lebih banyak maslahatnya dari pada masalahnya. Karena semua bekerja sesuai kebutuhan masyarakat.
Yang terjadi di negeri kita tercinta ini sejak Indonesia Merdeka, kita sama sekali tidak punya lembaga itu! Indonesia memang rajin bikin lembaga-lembaga dan organisasi tapi kurang sedikit memperhatikan tujuan dan ekektifitas lahirnya lembaga tersebut.
Ada lembaga fatwa dari ornganisasi ini, lembaga organisasi yang “situ” juga punya lembaga fatwa. Yang lembaga persatuan sebelah “sono” juga punya dewan yang mengurusi fatwa. Organisasi “pribumi” juga ngga mau kalah, ia bikin juga lembaga syariah.
Parahnya fatwa-fatwa agama yang dikeluarkan dari masing-masing organisasi itu itu semua saling bersebrangan dan saling berlawanan. Perbedaannya bukan lagi perbedaan “Tanawwu’i” (variatif) tapi sudah mencapai perbedaan yang bersifat “tanaqud” (berlawanan). Contoh yang paling dekat dan paling santer dibicarakan yaa fatwa “rokok” dan penentuan awal Ramadhan dan swayal. Semua tahu....
Dan anggota masing-masing organisasi tersebut keukeuh menjalankan fatwa organisasi sendiri-sendiri. Bayangkan, seorang menganggap suatu itu haram namun pekerjaan itu dilakukan oleh teman sebangkunya depan muka sendiri!. Akhirnya sulit untuk mewujudkan persatuan.
Jadi kita butuh “persatuan fatwa”, caranya??? Mmmm mesti berpikir ratusan kali bahkan ribuan kali untuk memutuskan fanatisme organisasi yang banyak melekat di dada masing-masing muslim Indonesia ini.
Karena fanatisme selamanya tidak bisa menjadikan sebuah bangsa bersatu. Tapi selama penulis hidup di Indonesia, ada dua hal yang bikin Indonesia bersatu; Sepakbola dan Bencana Alam.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menjadi tokoh utama dalam konfrensi ini, karena MUI sebagai representatif dari Kementrian Agama RI., pun tidak bisa dikatakan sebagai lambaga Fatwa satu-satunya. Lembaga yang mengatasnamakan Indonesia ini tidak bisa atau belum bisa berdiri sebagai lembaga pemersatu, tentu banyak hal yang melatar belakangi itu tersebut.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada MUI, saya mangatakan bahwa makalah dan persentasi yang dibawakan pertama kali oleh KH. Ma’ruf Amin tentang profil MUI di Indonesia juga urgensinya, benar-benar banyak celah yang bisa menjadi bahan perdebatan panjang.
Mulai dari “Ulama” yang mengisi di jajaran MUI, serta tekanan pemerintah akan MUI yang semua orang tahu itu, dan juga kedudukan MUI yang belum/tidak jelas dalam struktur negara Indonesia ini, apakah dia lembaga resmi fatwa atau bukan. Pun ketika ada penanya, dan memperdebatkan itu, ketua MUI itu tidak menjawabnya. Yaaa begitulah....
Dan ketika masalah itu dilemparkan kepada para pembicara yang mayoritas semuanya dari perwakilan Majma’ Fiqh, mereka terheran-heran mendengar masalah itu. Bagaimana bisa satu negara muslim dipimpin oleh puluhan lembaga fatwa yang berbeda dalam masalah syariah.
Mereka yang mayoritas belum pernah berkunjung ke Indonesia ini menjadi kebingungan, hehe. Jadinya konfrensi Cuma jadi ajang pertemuan dan silaturahmi para Ulama saja,tapi belum bisa menyelesaikan masalah tuan Rumah!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H