Mohon tunggu...
Zannuba Arifah Syabani
Zannuba Arifah Syabani Mohon Tunggu... Mahasiswi UIN SALATIGA

saya adalah seorang perempuan yang memiliki kesenangan atau hobi dalam dunia musik dan baking

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

fenomena penggunaan bahasa arab di media sosial: antara tren digital dan nilai sakral

26 Juni 2025   07:28 Diperbarui: 26 Juni 2025   07:28 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kaligrafi arab yang muncul dari layar ponsel,  menggambarkan fenomena viralnya bahasa arab dimedia sosial digital  sumber: freepik/kredit fo

Belakangan ini, penggunaan bahasa Arab semakin sering di temukan di berbagai platform media sosial seperti TikTok, Instagram, Twitter (X), hingga YouTube Shorts. Ungkapan-ungkapan seperti astaghfirullah, masya Allah, atau ya Allah bukan lagi terbatas dalam ruang ibadah atau kajian agama, tetapi kini telah menjadi bagian dari keseharian netizen, terutama di kalangan muslim milenial dan Gen Z. Ketika bahasa Arab digunakan untuk mengekspresikan emosi, hal ini mencerminkan bahwa fungsinya tidak lagi terbatas, melainkan turut berkembang seiring kemajuan dunia digital.

Bahasa Arab dalam konteks media sosial tidak hanya digunakan sebagai ungkapan religius, tetapi juga hadir dalam bentuk candaan, meme, hingga simbol identitas personal. Ungkapan "ya Allah sabar ya Allah" kini sering terdengar dalam konteks candaan atau kekesalan ringan, meskipun sejatinya ia berasal dari doa dan kesadaran spiritual yang khusyuk. Tidak sedikit pula pengguna yang menyisipkan kata seperti alhamdulillah atau bismillah dalam bio akun mereka. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak semata-mata mencerminkan identitas keagamaan, tetapi juga sering digunakan sebagai cerminan suasana batin atau nilai personal yang diyakini oleh penggunanya.

Fenomena ini tentu tidak muncul begitu saja. Jika ditelusuri lebih jauh, munculnya fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Pertama, meningkatnya tren hijrah di kalangan anak muda, yang terlihat dari banyaknya individu yang mulai aktif membagikan perjalanan spiritual mereka di media sosial, seperti akun-akun Instagram atau YouTube yang mendokumentasikan proses berhijrah dan belajar agama. Misalnya, beberapa influencer muslim muda yang membagikan kisah hijrah mereka dan menggunakan bahasa Arab dalam konten mereka untuk menambah nilai spiritual dan keaslian. Kedua, munculnya komunitas muslim digital yang tersebar di berbagai platform seperti Telegram, WhatsApp, dan Instagram, di mana anggota komunitas tersebut aktif berdiskusi menggunakan bahasa Arab, baik dalam bentuk percakapan harian maupun dalam kajian keagamaan. Contohnya adalah komunitas belajar bahasa Arab dan kajian Al-Qur'an yang memanfaatkan media sosial untuk saling berbagi ilmu. Ketiga, hadirnya konten-konten dakwah yang ringan dan relatable, seperti video singkat di TikTok atau reels Instagram yang mengemas pesan-pesan keagamaan dengan bahasa yang mudah dipahami serta dikombinasikan dengan bahasa Arab sederhana yang membuat konten tersebut terasa autentik dan dekat dengan audiens muda. Contohnya, akun-akun dakwah yang membagikan kata-kata motivasi dalam bahasa Arab beserta terjemahannya sehingga audiens dapat menghayati makna sambil belajar bahasa Arab secara tidak langsung. Media sosial telah membuka jalur baru bagi bahasa Arab untuk berkembang, dari sekadar bahasa religius menjadi bagian dari ekspresi spiritual anak muda masa kini.

Di lain sisi, sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, penulis merasa cukup gelisah melihat fenomena ini berkembang begitu luas tanpa pemahaman yang utuh. Ada rasa tidak nyaman ketika melihat ungkapan-ungkapan suci seperti astaghfirullah, ya Allah, atau masya Allah digunakan secara sembarangan dalam konteks candaan atau lelucon di media sosial. Meskipun terlihat ringan, hal-hal semacam ini secara perlahan dapat mengikis makna mendalam yang terkandung dalam bahasa tersebut. Ada kekhawatiran jika hal ini terus dibiarkan, masyarakat terutama generasi muda akan semakin jauh dari pemahaman spiritual yang seharusnya menyertai penggunaan bahasa Arab. Sebagai seseorang yang belajar langsung tentang kekayaan makna dan nilai sakral dalam bahasa Arab, penulis memiliki tanggung jawab moral untuk setidaknya mengingatkan atau menumbuhkan kesadaran bahwa setiap bahasa, terlebih bahasa yang memuat nilai-nilai keagamaan, seharusnya digunakan dengan penuh hormat dan pertimbangan.

Dengan demikian, tren penggunaan bahasa Arab di media sosial tidak bisa dipandang sekadar sebagai bentuk gaya-gayaan. Dari sekadar tren, penggunaan bahasa Arab di media sosial bisa diarahkan menjadi sarana yang mendidik, memperdalam spiritualitas, dan memperkuat jalinan budaya antar generasi. Generasi muda muslim, terutama yang belajar bahasa dan sastra Arab, sekarang punya tanggung jawab untuk membuat pemahaman yang cerdas dan bisa menyesuaikan dengan zaman, tanpa mengabaikan nilai dan martabat bahasa tersebut. Ketika dipahami dan digunakan secara tepat, bahasa Arab bisa menjadi jembatan yang memperkaya pengalaman spiritual dan sosial, serta memperkuat identitas kultural dalam era digital yang serba cepat ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun