Di era serba digital ini, pemandangan balita memegang gawai bukanlah hal yang asing. Banyak orang tua merasa "dibantu" oleh YouTube atau TikTok untuk menenangkan anak-anak mereka. Tapi, apakah ini solusi jangka panjang atau justru bencana dalam diam? Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: apakah penggunaan gadget sejak dini benar-benar mendidik atau justru membentuk generasi pasif yang kehilangan masa kecilnya?Â
Menurut data dari KPAI dan Kemenkes (2023), 52% anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia telah dikenalkan pada gadget secara intens. Mayoritas digunakan untuk menenangkan anak ketika rewel, bukan sebagai media pembelajaran. Padahal, American Academy of Pediatrics (AAP) menyarankan anak usia 0-2 tahun tidak terpapar layar sama sekali karena otaknya sedang dalam masa perkembangan pesat dan perlu stimulasi langsung dari lingkungan nyata, bukan dari layar datar.
Studi dari University of Calgary (2019) menyebutkan bahwa balita yang terlalu sering menatap layar mengalami keterlambatan bicara dan gangguan interaksi sosial. Ini terjadi karena waktu yang seharusnya dihabiskan untuk bermain, berinteraksi, dan mengeksplorasi lingkungan, malah digantikan oleh visual bergerak cepat yang terlalu stimulatif. Alih-alih menjadi lebih pintar, anak malah bisa mengalami gangguan perkembangan.
Ironisnya, banyak orang tua merasa memberi gadget adalah bentuk "cinta modern"---padahal, sebagian besar hanya karena kelelahan atau kurangnya waktu berkualitas. Fenomena ini menunjukkan adanya miskonsepsi tentang pola asuh yang sehat. Ketika orang tua menggantungkan pengasuhan pada konten digital, mereka sebenarnya tengah menyerahkan peran pengasuhan pada algoritma.
Namun bukan berarti gadget sepenuhnya harus dijauhkan. Teknologi, bila dipakai dengan benar, bisa menjadi alat bantu yang luar biasa. Misalnya, aplikasi edukatif yang digunakan dengan bimbingan orang tua selama waktu terbatas (maksimal 30 menit per hari) bisa memberi manfaat. Kuncinya terletak pada pendampingan, batasan waktu, dan pemilihan konten.
Sudah saatnya kita, sebagai masyarakat, sadar bahwa anak-anak bukan sekadar "diam" saat diberi gawai yang penting, tapi bagaimana perkembangan mereka tetap optimal. Mari kembali menjadikan pelukan, dongeng, dan mainan sederhana sebagai media utama dalam mendidik. Gadget seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti. Karena kalau tidak, kita sedang menanam bom waktu yang akan meledak di masa depan---ketika generasi baru tumbuh tanpa empati, kreativitas, dan kemampuan sosial. Jadi, mari bijak gunakan teknologi, mulai dari rumah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI