Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sistem Penjaminan Mutu Internal, Bisakah Menjamin Mutu Dosen?

19 Mei 2017   09:54 Diperbarui: 19 Mei 2017   10:31 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ppepp-e1471577990281-591e5e02749773320de171a7.png
ppepp-e1471577990281-591e5e02749773320de171a7.png
Sistem Penjaminan Mutu Internal, Bisakah Menjamin Mutu Dosen?

Oleh: Zaki Mubarak

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan tentang peningkatan mutu guru. Dosen adalah guru di tingkat perguruan tinggi. Perbedaan guru dan dosen hanya terletak pada kepakaran sesorang terhadap disiplin ilmu yang diperoleh. Guru harus menguasai kompetensi tentang cara mengajar (pedagogical knowledge), menguasai ilmu pengetahuan tentang substansi ilmu yang diajarkan (professional competency), memiliki kesolehan sosial (social piety) dan memiliki kepribadian yang baik (good personality).

Berbeda dengan guru, dosen tidak dituntut oleh empat kriteria kompetensi di atas. Dosen dituntut untuk mengimplementasikan tridarma perguruan tinggi (PT). Tridarma PT memiliki tiga kegiatan utama untuk dosen yakni (a) pendidikan dan pengajaran, (b)penelitian dan (c) pengabdian kepada masyarakat. Guru sangat kuat (established) dalam ilmu pedagogis dan pengetahuan materi ajar, sehingga lulusan Lembaga Pendidikan dan Tenaga kependidikan (LPTK) sebuah lembaga yang menghasilkan guru dan staf kependidikan) memiliki otak dan memory yang dibagi dua bagian; 60% berisi substansi keilmuan, 40% pengetahuan pedagogis. Bagi dosen ini tidak berlaku.

Dosen tidak harus jebolan dari LPTK, mereka harus lahir dari ilmu yang linier dengan substansi disiplin ilmu yang diajarkannya. Linieritas dapat didefinisikan sebagai linieritas ilmu dimana program sarjana, magister dan doktornya. Bagi dosen-dosen Kemenristek Dikti, linieritas diinterpretasikan oleh keilmuan program studi sedangkan dikebanyakan kemenag, linier lebih dimaknai luas yaitu rumpun program studi. Menurut peraturan Menteri Pendidikan tahun 2012 bahwa liniertitas itu adalah kesamaan antara ijazah terakhir dengan mata kuliah yang diajarkan. Permen itu tidak melihat pendidikannya saja tapi dengan kepakarannya. Jadi linieritas bukan hanya dihitung dari pendidikan yang linier tetapi lebih kepada kepakaran seorang dosen yang diinterpretasikan dengan mengajar sebuah mata kuliah.

Jadi, otak dan memori dosen diisi 100% ilmu tentang disiplin ilmunya. Mereka fokus pada keilmuan yang dipelajari dari  mulai program sarjana, magister dan doktornya. Ilmu ini bisa tentang dari prodi yang sama, atau prodi yang satu rumpun. Bila ada kasus dosen yang tidak linier pendidikannya, maka dianjurkan untuk mengulangi proses belajarnya secara linier. Ini agak sedikit berat untuk generasi senior, karena kebanyakan kepakaran seorang dosen generasi lalu memiliki riwayat ketidak linieran studi. Mereka belajar secara zig-zag. Bisa jadi itulah alasan bahwa linieritas ala peraturan menteri adalah kesamaan ijazah terakhir dengan mata kuliah yang diampunya.

Dengan demikian, ini menunjukan bahwa dosen sangat mementingkan disiplin ilmu daripada pengetahuan pedagogisnya. Ini beda dengan guru yang 40%nya diisi dengan ilmu pendidikan. Alasannya bisa jadi bahwa pedagogis adalah ilmu seni mengajar anak kecil, dan itu berlaku di pra-sekolah, dasar dan menengah. Urusan PT, siswa sudah dianggap dewasa, bukan anak kecil lagi. Mereka lebih butuh andragogi, ketimbang pedagogi.

Masalah yang akan didiskusikan pada tulisan ini adalah apakah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di PT dapat benar-benar menjamin mutu dosen?. Saya fokus kepada dosen, karena dosen merupakan faktor paling penting dalam implementasi mutu pada tingkat interaksi di kelas. Masih ada, paling tidak tujuh standar yang harus dibahas, namun dalam hal ini difokuskan untuk kualitas dosen yang dalam SPMI ada pada standar Sumber Daya Manusia (SDM). Jadi, untuk penjaminan mutu yang lain, saya akan bahas di lain waktu saja.

Di PT, banyak nama yang disandang untuk menunjukan bahwa lembaga penjaminan mutu hadir di PT. Di tingkat sekolah tinggi bernama Pusat Penjaminan Mutu (PPM), di institut atau universitas bernama Lembaga Penjaminan Mutu (LPM). Dalam perjalanannya, nama “Internal” belakangan disandingkan untuk menunjukan bahwa untuk menjamin mutu PT perlu ada pihak internal yang diwakili oleh lembaga atau pusat yang ada di dalam internal PT, sedangkan di eksternal bisa dilakukan pemerintah melalui BAN-PT dan atau melalui sertifikasi ISO 2008 khusus untuk standar perguruan tinggi berkelas “internasional”.

Dalam perkembangannya, PPM atau LPM yang saat ini saya sebut SPMI (walaupun agak berbeda secara filosifis) memiliki perjalanan yang terseok-seok. Banyak batu terjal yang menghambatnya, baik dari sistem manajemen yang dilaksanakan dalam PT itu sendiri atau SDM PT yang kurang paham tentang SPMI itu sendiri.

Secara konsep, SPMI memiliki kepentingan yang sangat luar biasa pentingnya dan fatal bagi keberlangsungan mutu PT. Bila nilai akreditasi itu adalah ruh dari prodi di PT, maka SPMI adalah motor yang harus jalan dan mutlak dilaksanakan oleh PT. Bila SPMI tidak berjalan, maka dapat diprediksi mutu PT bisa tidak bernilai tinggi dan seadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun