4K: Keterampilan Orang Terdidik Masa Kini
Oleh: Zaki Mubarak
Abad ini, yang sering disebut abad 21, memiliki karakteristik yang beda dengan abad sebelumnya. Ia lahir atas persaingan dunia yang nampak. Satu sama lain bersaing untuk bisa “berkuasa” atas lainnya. Bukan hanya hegemoni negara dengan militernya yang menjadi alat berkuasa, namun nilai kelompok bangsa, budaya kelompok bangsa, bahkan produk bernilai ekonomi bangsa menjadi salah satu barometer “berkuasa” di abad ini.
Perkembangan teknologi informasi adalah alasan penting dalam kemajuan pesat abad 21. Inovasi teknologi yang tak pernah berhenti, produk-produk teknologi informasi yang terus diproduksi, variasi menu teknologi yang deras diteliti adalah bukti dimana denyut teknologi tak pernah mati. Definisi pintar dalam abad 21 bergeser dari menguasai “hapal” ilmu pengetahuan menjadi menguasai teknologi. Seseorang dipanggil terdidik apabila mampu menjumpakan tradisi keilmuan ‘teoretis’ dengan teknologi ‘praktis’ yang berkembang.
Inilah makna dari orang terdidik masa kini. Ia lahir dari persenyawaan ilmu pengetahuan yang sudah berabad berkembang dengan sistematis dan teknologi mutakhir yang terus berkembang. Saya masih ingat ketika kecil, telepon adalah sesuatu yang paling istimewa. Semakin ia kaya, maka mutlak harus memiliki telepon. Kini beda, telepon genggam saja bukanlah hal istimewa bagi kaum kebanyakan. Yang istimewa sekarang adalah memiliki 4K.
4K adalah akronim dari kependekan K yang berjumlah 4. Sebenarnya isinya tidak hanya 4, karena ada konsep lain yang nempel. 4K sejatinya derivasi dari 4C yang di-Indonesiakan. 4K kependekan dari; (1) Kritis dan Penyelesai masalah, (2) Komunikatif, (3) Kolaboratif, dan (4) Kreatif dan inovatif. Empat (sesungguhnya enam) hal inilah yang menjadi ciri utama dari “kaya”, “pintar”, “cerdas” dan “hebat” abad kini. Keterampilan inilah yang mampu membangkitkan semua potensi manusia untuk berkuasa atas manusia lainnya.
Saya melihat bahwa 4K dapat direalisasikan di persekolahan atau madrasah. Sepertinya di pesantren (seperti tulisan sebelumnya tentang Sorogan dan Bandungan) memilki ciri khas dan karakter yang berbeda. Biarkan pesantren menjadi sebuah entitas lama yang mentradisikan nilai, budaya, teknologi (sederhana) dan ilmu pengetahuan masa lalu dan jangan sekali kali kita mengganggunya. Bila diganggu habitatnya, saya yakin pola pendidikan kita tidak bisa saling mengisi satu sama lainnya. Inilah simbiosis mutualisme pendidikan pesantren dan persekolahan.
Jadi, 4K kita dudukan di persekolahan (sekolah dan madrasah) yang memiliki potensi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara berkelanjutan. Jika ini berkembang dengan baik di negeri ini, saya yakin akan muncul “Naufal si Penemu listrik kedongdong” baru, atau bocah ronbotik jebolan UIN Jakarta pemenang kontes robnotik internasional. Agar kajiannya lebih spesifik, maka saya akan elaborasi 4K ini agar bisa dikonsumsi secara mudah oleh Anda.
(1) Kritis berpikir dan penyelesai masalah. Sebenarnya kata awal ini sebelum di transliterasi ke Indonesia berbunyi “critical thinker and problem solver”. Ada dua kata yang satu sama lain bisa berpisah, pun bisa juga bersama nenjadi satu kesatuan. Kritis adalah kata yang mewakili kepada setiap individu yang iqro’ “membaca” baik kauniyah (konteks) maupun qauliyah (teks). Jadi mereka adalah konsumen terhada sebuah objek. Tetapi dalam membacanya, mereka tidak menerima secara pasrah objek yang dibacanya, namun berupaya untuk mencari kedalaman makna dan bisa jadi memprotesnya. Bila mereka setuju, maka akan terus berupaya mencari secara mendalam iqra’ yang lainnya yang relevan. Bila tidak setuju, maka akan mencoba menggagas sesuatu yang baru. Tentu saja dengan cara yang elegan bukan menyalahkan apalagi menghina penemu objek yang dibaca.
Nah, bila keterampilah kritis ini berproses, maka akan lahirlah sebuah daya untuk menyelesaikan masalah. Bila fenomena kehidupan hadir dalam keterbacaannya, maka Ia akan mencoba menganalisis dengan pisau analisis yang telah diasahnya di berbagai majelis ilmu, lalu kemudian mecari akar permasalahan dan mencoba menguraikannya secara benar. Setelah diurai, tentu saja seorang yang kritis tidak berhenti terpana atas apa yang sudah terurai, tapi akan mampu menyelesaikannya. Penyelesaian dalam bentuk gagasan baru, saran, kritikan membangun atau paling tidak melakukan hal yang lebih baik dari hasil bacaanya.
Pemikir kritis dan penyelesai masalah merupakan duet yang mampu berkorporasi dalam membaca fenomena, menguasainya, lalu menyelesaikannya. Ia tidak menerima kepasrahannya atas kondisi, tetapi ia hadir berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah. Inilah keterampilan pertama orang terdidik. Ia reseptif dan bukan berarti oposan, tetapi ia produktif mengalihkan isu negatif menjadi sesuatu yang positif, bagi dirinya ataupun orang lain. Keterampilan inilah pondasi untuk menjadi keterampilan lainnya, karena kreatif dan produktif bisa berawal dari mengkritisi yang ada lalu memodifikasinya.
(2) Komunikatif. Keterampilan kedua adalah komunikatif yang berderivasi dari bahasa Inggris communicative. Keterampilan ini adalah keterampilan bahasa, dimana kadang orang memilikinya tapi kurang mengasahnya. Orang yang pandai menggunakan bahasa dalam mengeluarkan idenya, memodifikasi temuannya, mengekspresikan kehebatannya adalah orang sukses masa depan.