Mohon tunggu...
Fatimatuz Zahro
Fatimatuz Zahro Mohon Tunggu... Mahasiswa - A Learner

no proofread

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Seni Sebuah Strategi yang Mengantarkan ke Akhir Zaman

8 Desember 2019   12:06 Diperbarui: 17 Juni 2022   17:04 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Fatimatuz Zahro Noor Iman

Perang, kata yang selalu dikaitkan dengan "permusuhan antar dua negara." Sebenarnya untuk menaklukan negara lain dan membangun satu memiliki sebuah kesamaan, yaitu sama-sama memerlukan strategi.  Seperti menurut Luttwak "The art and science of developing and using political, economics, psychological and military forces as necessary during peace and war, to afford the maximum support to policies, in order to increase the possibilities and favorable consequences of victory and to lessen the chances defeat."

Yup, persiapan strategi dalam berbagai bidang sangat diperlukan dalam menciptakan kedamaian maupun perang.

Sebenarnya istilah strategi mulai muncul saat manusia semakin banyak menggunakan nalar ketimbang emosi dalam perbuatan kolektif yang disebut "perang". Seorang strategis tidak melulu seorang jenderal atau warrior. Dia bisa datang dari kalangan sipil. Artinya siapapun bisa menjadi penakluk dunia. Negara manapun bisa menjadi poros dunia. Spykman (1944) berkesimpulan "...... who controls the Rimland rules Eurasia, who rules Eurasia controls the destinies of the world". Perang dan politik adalah seperti satu kesatuan, Jenderal Besar Vo Nguyen Giap menyatakan bahwa politik adalah lanjutan dari perang dengan cara lain.

Strategi dan diplomasi berasal dari gramatika yang berlainan, yang logikanya berada khas dalam poitik.  Tujuan utama diplomasi antar negara adalah untuk membangun dan meningkatkan hubungan kerjasama di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kepetingan lainnya. Dalam menjalankan diplomasi, Indonesia beridiologi demokrasi. Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat, seharusnya.

Sayangnya demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang sakit. Penyakit yang diderita demokrasi timbul setelah ia terpaksa diterapkan tidak langsung. Yang dideritanya adalah suatu penyakit institusional, motivasional, mekanistis, yang nyaris tidak kelihatan, disebut neurosis politics. Neurosis ini adalah penyakit yang bisa dialami siapa saja yang sedang berusahan mencapai suatu tujuan yang samar, karena tujuan itu problematik.

Alih-alih melakukan pembangunan nasional, Indonesia selalu beranggapan bahwa "ide kemajuan" ada pada term "kemajuan ekonomi". Indonesia terus memajukan perekonomian tanpa memperhatikan "kemajuan masyarakat"nya atau materiliasme. Ada suku dan daerah yang hanya dijadikan "penonton pasif" belaka, tidak diajak menjadi bagian pembangunan. Sering malah mereka yang dijadikan bahan untuk pembanguna, mereka dieksploitasi demi pendapatan nasional yang menjadi ukuran keberhasian pembangunan itu. Mereka dijebak pada pribahasa "take it or leave", mereka dipaksa menerima apa yang disediakan tanpa diperhatikan. Selama masih menganut paham ini Indonesia akan terus menjadi negara yang berstatus NSMD (democratizing states). 

NSMD ini adalah negara-negara yang menuju demokrasi. Demokrasi yang cacat dan pembangunan yang tidak merata, menjadikan masyarakat kita terus-terusan mengalami kesenjangan sosial antar masyarakatnya yang beragam akan mengacu pada masalah SARA.

Ada empat jenis nasionalisme, yaitu: (1) nasionalisme sipil, (2) nasionalisme kontra-revouisioner, (3) nasionalisme revolusioner, dan (4) nasionalisme SARA. Nasionalisme yang sering terjadi di Indonesia adalah nasionalisme SARA, yaitu kepetingan elite yang tegar, lembaga politik yang lemah. Keegoisan golongan elite, ketidak becusan lembaga politik, dan keterbelakangannya rakyat tidak melepas Indonesia dari yang namanya nasionalisme atau konflik nasionalisme.

Nasionalisme merupakan doktrin menarik bagi kaum elite di NSMD, seruan-seruan nasionalisme hanyalah kibul atau berlebihan, yang digembar-gemborkan oleh kelompok-kelompok yang mementingkan golongannya sendiri atau diri sendiri di atas keuntungan yang berasal dari hasil kerjasama seluruh rakyat.

Hubungan demokratisasi dan nasionalisme memerankan peran besar pada sejarah Jerman, dijelaskan dengan beberapa teori: persaingan antar kelompok rakyat, industrial sebagai pemersatu, dan persaingan militer dan tentara nasional besar-besaran. Tentu kalian ingat tentang pembantaian besar-besaran kaum Yahudi yang dilakukan Hitler bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun