Raja Ampat, sebuah wilayah kepulauan di Papua Barat Daya, terkenal sebagai surga bawah laut dunia. Keindahan alamnya yang luar biasa, kekayaan biodiversitasnya yang tinggi, dan kehidupan masyarakat adat yang masih lekat dengan tradisi menjadikannya salah satu kawasan konservasi terpenting di Indonesia, bahkan dunia. Namun, ironi terjadi ketika wilayah ini mulai diincar oleh kepentingan industri pertambangan, terutama tambang nikel. Praktik-praktik eksploitasi tambang yang masuk ke kawasan ini memunculkan kontroversi besar, bukan hanya dari segi lingkungan, tetapi juga dari sisi keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana peristiwa ini mencerminkan pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur Pancasila, khususnya sila ke-5 dan sila ke-2.
Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat mulai menjadi sorotan ketika sebuah perusahaan memperoleh izin usaha pertambangan di Pulau Kawe dan beberapa wilayah lainnya yang sebenarnya merupakan kawasan konservasi. Meski pada akhirnya izin tersebut dicabut karena tekanan publik dan advokasi masyarakat sipil, fakta bahwa izin itu sempat diberikan menandakan adanya celah besar dalam pengelolaan sumber daya alam kita. Ketika kepentingan ekonomi jangka pendek lebih diutamakan dibandingkan keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal, maka disitulah nilai-nilai Pancasila mulai terkikis.
Sila kelima dari Pancasila menegaskan pentingnya keadilan sosial yang merata dan menyeluruh. Dalam konteks pertambangan di Raja Ampat, terjadi ketimpangan yang nyata antara pihak yang mendapatkan keuntungan (perusahaan, pemilik modal) dan pihak yang menanggung beban (masyarakat lokal dan lingkungan). Keberadaan tambang nikel mengancam ekosistem laut dan darat yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat. Nelayan kehilangan mata pencaharian, air bersih tercemar, dan tanah adat dirampas atas nama pembangunan.
Keadilan sosial seharusnya mengedepankan prinsip bahwa setiap kebijakan pembangunan harus memihak kepada masyarakat yang paling rentan. Namun kenyataannya, masyarakat adat sering kali tidak dilibatkan dalam proses perizinan atau pengambilan keputusan yang menyangkut tanah dan laut yang mereka warisi secara turun-temurun. Dalam hal ini, negara belum hadir sepenuhnya sebagai pelindung hak-hak warga negara, sebagaimana yang diamanatkan oleh sila ke-5.
Pertambangan yang merusak lingkungan tidak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga secara moral dan sosial. Sila ke-2 mengajarkan pentingnya memperlakukan manusia secara adil dan beradab, menghormati harkat dan martabat setiap individu. Ketika masyarakat adat Raja Ampat dipinggirkan, hak atas lingkungan hidup yang sehat diabaikan, dan suara mereka tak didengar, maka nilai-nilai kemanusiaan pun tercabik.
Pembangunan yang tidak berlandaskan kemanusiaan cenderung mengorbankan mereka yang paling lemah. Masyarakat lokal Raja Ampat memiliki keterikatan spiritual dan budaya yang kuat dengan alam sekitarnya. Merusak lingkungan mereka berarti merusak identitas dan keberlangsungan hidup mereka sebagai manusia dan sebagai bagian dari komunitas budaya. Praktik-praktik tambang yang dilakukan tanpa persetujuan penuh masyarakat setempat adalah bentuk ketidakadilan kemanusiaan.
Kisah tambang nikel di Raja Ampat bukan hanya soal lingkungan atau ekonomi, tetapi juga soal nilai. Nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila, khususnya keadilan sosial dan kemanusiaan, semestinya menjadi pijakan dalam setiap kebijakan dan tindakan pemerintah maupun swasta. Peristiwa ini menjadi cermin bagi kita semua bahwa pembangunan haruslah berwawasan ekologis dan berkeadilan.
Pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap izin usaha pertambangan, memastikan keterlibatan aktif masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, dan menjadikan konservasi lingkungan sebagai prioritas utama di wilayah-wilayah sensitif seperti Raja Ampat. Hanya dengan cara ini, kita dapat membuktikan bahwa Pancasila bukan sekadar simbol, melainkan jiwa yang hidup dalam setiap kebijakan negara.
Menambang di surga adalah ironi yang nyata. Ketika keindahan alam dan kehidupan masyarakat tradisional dikorbankan demi kepentingan ekonomi sesaat, maka saat itulah kita harus bertanya: apakah kita benar-benar mengamalkan nilai-nilai Pancasila? Raja Ampat adalah warisan tak ternilai, bukan hanya bagi Papua atau Indonesia, tetapi bagi dunia. Menjaga dan melindunginya adalah bagian dari tanggung jawab moral dan ideologis kita sebagai bangsa yang berlandaskan pada kemanusiaan dan keadilan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI