Pesta demokrasi, baik pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) yang dirayakan setiap 5 tahun sekali sudah semakin dekat. Berbagai persiapan pun dilakukan oleh partai dan para calon (legislatif dan presiden/wakil presiden) yang akan bertarung.Â
Pencitraan, dana yang besar, janji politik telah bertebar ke publik untuk menarik perhatian pemilih. Dari berbagai cara kampanye mainstream ini, para pemilih harus belajar melihat calon legislatif dan calon presiden/wakil presiden yang akan dipilih.
Pilihan tidak boleh lagi berdasarkan kekerabatan, janji politik dan uang semata, tetapi perjalanan perjuangan dari caleg dan capres/cawapres tersebut harus dilihat.
Sekarang ini, ada beberapa aktivis 1998 yang maju mencalokan diri sebagai celeg. Alasan kuat yang membuat mereka maju sebagai calon legislator adalah pengalaman mereka sebagai pejuang selalu diacuhkan oleh anggota dewan. Padahal, legislator sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi oleh masyarakat.
Salah satu aktivis Trisakti '98 (1998) yang maju sebagai caleg adalah Jim Lomen Sihombing dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Bang Jim, biasa disapa merupakan caleg DPRD DKI Jakarta Nomor Urut 2 Dapil 2 meliputi Kepulauan Seribu, Koja, Cilincing dan Kelapa Gading.
Saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Bang Jim seputar pileg dan pilpres serta politik saat ini. Tentu, sambil minum kopi, ditambah dengan goreng pisang.
Di awal perbincangan, Bang Jim bicara tentang semangat perubahan reformasi di tahun 1998 dan semangat perubahaan reformasi sekarang ini sangat menurun dari segi kualitasnya. Ada beberapa alasan menurut Bang Jim mengapa kualitas perubahannya menurun.
Pertama, KPU saat ini cenderung tidak punya sikap tegas. Contohnya, sampai hari ini kita belum tahu apakah presiden sudah cuti atau belum, padahal hal itu sudah diatur di undang-undang. Kedua, Bawaslu dan lembaga penyelenggara pemilu lainnya sebagai pelaksana pileg dan pilpres, juga kurang tanggap soal pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai aktivis '98, Bang Jim juga melihat situasi sekarang sangat semrawut dan tidak mengedepankan intelektualitas. Kita pasti sepakat bahwa semangat untuk tidak membunuh karakter calon presiden dapat dilakukan, tapi nyatanya tidak bisa. Itu bisa kita lihat sekarang ini. Mengapa semua ini bisa terjadi? Karena itu tadi, ada lembaga yang seharusnya dapat bekerja dengan baik tapi nyatanya tidak dapat berbuat apa-apa. Nah, semangat itu yang kurang ada, bahkan cenderung tidak ada di kondisi reformasi sekarang ini.
Sekarang, apa yang bisa kita harapkan dari semua pihak? Kita berharap ada kesejukan, keteduhan dari semua pihak. Orang tampak berbeda tanpa ketakutan. Kalau di zaman orde baru, kita berbeda, kita diam saja. Sekarang ini politik itu menjadi sesuatu yang takut karena perbedaan. Padahal, sekarang ini serba keterbukaan, berbeda itu membuat kita nyaman tapi sampai hari ini, hal itu tidak terjadi di negara kita. Kita berbeda seolah-oleh negara ini akan runtuh. Inilah kemunduran di pemilu 2019 dan semangat ini yang jauh dari semangat reformasi yang didengungkan pada 1998.