Mohon tunggu...
Muhammad Asep Zaelani
Muhammad Asep Zaelani Mohon Tunggu... Relawan - Pekerja Sosial Perusahaan, NU dan Gusdurian

Hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Money

Pribumisasi Sektor Pertanian

20 Oktober 2017   10:37 Diperbarui: 20 Oktober 2017   10:56 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman", penggalan lirik lagu koes plus ini pas banget untuk menggambarkan kesuburan tanah kita. Namun sayangnya anugerah Tuhan yang sangat istimewa ini belum bisa dioptimalkan menjadi keunggulan strategis. Tingkat ketergantungan bangsa kita terhadap impor pangan dari negara lain masih cukup tinggi. Menjadi sebuah ironi bagi negara yang dikenal sebagai negara agraris.

Keberadaan Kementerian Pertanian yang diharapkan bisa jadi seorang Bapak yang ideal bagi para petani belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Ketersediaan anggaran yang belum optimal dan sentralisasi kewenangan masih menjadi kendala utamanya. Beberapa program yang seharusnya menjadi domain dari Kementan masih dijalankan oleh Kementerian yang lain. Kalau saja ada harmonisasi dan sinergi yang baik antar Kementerian tentu hal ini tidak akan menjadi masalah yang berarti. Namun faktanya seringkali kita melihat terjadinya tumpang tindih kebijakan.

Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah juga menjadi masalah tersendiri. Mata rantai kebijakan sektor pertanian menjadi sangat panjang dan berjenjang. Yang tentu saja akan berimbas dalam penentuan prioritas pembangunan. Program yang penting menurut pusat belum tentu dianggap penting oleh daerah. Begitupun sebaliknya.

Nasib Petani yang Semakin Terpinggirkan

Dalam Renstra Kementrian Pertanian 2015-2019 menyebutkan bahwa pada tahun 2014 sektor pertanian menyerap sekitar 35,76 juta orang atau sebesar 30,27 % dari total tenaga kerja di Indonesia. Dari data yang sama didapatkan juga bahwa jumlah penduduk miskin dipedesaan jauh lebih banyak dari jumlah penduduk miskin diperkotaan. Artinya kondisi kesejahteraan masyarakat desa yang mayoritasnya adalah petani masih dalam taraf yang memprihatinkan.

Sejatinya menjadi petani adalah pekerjaan yang sangat mulia. Dalam mata rantai produksi pangan, petani memiliki peran penting sebagai ujung tombak ketersediaan pangan dilapangan. Merekalah yang setiap hari harus bersahabat dengan panas teriknya matahari atau lebatnya guyuran hujan. Hanya untuk memastikan bahwa tanamannya bisa terawat dengan baik, tumbuh subur dan memberikan hasil yang maksimal. Namun peran penting tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan nasib yang harus mereka terima. Bahkan kenyataannya justru berbanding terbalik. Dalam keseharian, mayoritas petani kita harus hidup dengan kondisi yang memprihatinkan. Bicara nasib petani memang bicara tentang lingkaran kemiskinan. Kemiskinan yang tidak hanya melekat pada dirinya tapi juga berpotensi untuk diwariskan kepada generasi petani selanjutnya.

Akibat jerat kemiskinan, banyak petani usia produktif yang saat ini lebih memilih beralih profesi jadi buruh kasar diperkotaan. Citra "madesu" (masa depan suram) yang terlanjur melekat pada diri petani menyebabkan terus menurunnya minat orang pada profesi ini. Malah diantara para petani sendiri banyak yang berharap agar anak-anak mereka kelak tidak jadi petani. Dibukanya prodi pertanian diberbagai perguruan tinggi tidak bisa menaikan gengsi profesi petani. Malah sudah menjadi rahasia umum kalau kampus IPB yang dikenal sebagai kampus pertanian paling elit di Indonesia, para alumninya justru banyak yang berkarier diluar dunia pertanian. Maka jangan heran kalau suatu saat bangsa kita akan menghadapi krisis pangan yang tidak hanya diakibatkan oleh semakin menyusutnya lahan produktif akibat alih fungsi lahan yang gak karu-karuan, tapi juga semakin menyusutnya jumlah para petani. Kita akan krisis Lahan. Krisis Pangan. Dan krisis Petani.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun