Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perayaan Tahun Baru Islam dan Kurang Tepatnya Memaknai Hadits

1 Agustus 2022   08:16 Diperbarui: 1 Agustus 2022   10:22 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dok. Kompas.com, By National Today

Sekarang masih dalam suasana Tahun Baru Islam 1444 Hijriyah. Dibeberapa group Facebook dan WA, ramai diperdebatkan soal ini. Materinya seputar boleh atau tidak merayakan tahun baru islam. Satu kelompok berpendapat dilarang. Bahkan dibilang haram. Alias berdosa. Alasannya, karena tidak ada dijaman Nabi Muhammad SAW. Kelompok lain sebaliknya. Silahkan merayakan Tahun Baru Islam. Karena itu tergolong sebagai perbuatan baik.

Terus terang, saya tergolong sebagai kelompok yang merayakan Tahun Baru Islam. Dilembaga saya, tiap pergantian tahun hijriyah senantiasa diadakan pawai keliling. Dibeberapa tempat, ada juga yang diisi kegiatan khotmil quran, pengajian, diskusi, solawatan, yasinan dan sebagainya. Pendek kata, masyarakat dilingkungan saya antusias menyambut pergantian tahun yang di inisiasi dari sejarah pindahnya Nabi ke Madinah ini.

Umumnya, kelompok yang menolak berpendapat bahwa perayaan tahunan dalam Islam itu hanya ada dua. Pertama, hari raya Idul Fitrih yang jatuh tepat pada tanggal 1 syawal. Kedua, hari raya Idul Adha tiap tanggal 10 Dzulhijjah. Bagi kelompok ini, hanya dua momentum itulah yang boleh dirayakan setiap tahun. Diluar itu, tidak boleh. Alias dilarang. Namanya dilarang, jika dilakukan ya berdosa.

Dasar yang digunakan oleh mereka yang menolak adalah hadits Nabi SAW yang artinya demikian : "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau Nabi SAW berkata, "Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)". (HR. An-Nasai).

Oleh kelompok yang menolak perayaan Tahun Baru Islam, hadits tersebut dianggap sebagai ketentuan mutlak. Artinya, semua perayaan yang memiliki nuansa atau berbau islam, ya dilarang. Tidak boleh dilaksanakan. Persepsi saya, jika mengikuti pendapat mereka, yang dilarang tentu bukan hanya Tahun Baru Islam saja. Perayaan kelahiran anak, syukuran, nikahan dan sejenisnya, juga dilarang. Bahkan mungkin, sekedar berucap "alhamdulilah", karena merayakan kemenangan besar klub kebanggan Liverpool, yang sukses menghajar MU atau Menchester United hingga delapan gol tanpa balas alias 8-0, juga tak luput dari larangan.

Kalau benar demikian, betapa sempitnya dunia ini. Umat islam tidak bisa melangkah, justru oleh ajarannya sendiri. Kemanapun bergerak, serba salah. Meminjam istilah film Warkop DKI Dono, Kasino Indro yang tenar sekitar tahun '80 hingga '90-an berjudul "Maju Kena Mundur Kena", umat islam akan terjepit. Tidak bisa bergerak kemanapun. Hendak ke kanan, khawatir kena senggol. Mau ke kiri, takut ada jurang. Akan mundur, ada tembok. Bergerak maju apalagi. Didepan terhalang tembok baja tebal, tinggi dan pakai kawat berduri. Masih ditambah aliran listrik ribuan walt. Maksa terus, pasti dijemput Malaikat maut.

Apakah begitu yang dimaksud Kanjeng Nabi Muhammad SAW..? Tentu tidak donk. Mana mungkin Kanjeng Nabi SAW yang ajarannya berasal dari Allah SWT menginginkan kejumudan, kemunduran dan kebodohan seperti itu. Ya jelas mustahil. Mengapa, karena kalau benar, pasti bertentangan dengan tujuan diciptakannya segala jenis makhluk didunia ini. Yaitu untuk kemajuan peradaban umat manusia.

Menurut saya, lahirnya pendapat melarang perayaan Tahun Baru Islam, sebenarnya lebih karena belum tepat memaknai hadits Nabi dan kurangnya reverensi tentang sunnah Nabi serta atsar para sahabat. Akibatnya, makna hadits diatas bersifat destrukstif. Umat islam jadi terkungkung dan tidak bebas bergerak. Padahal, semangat yang terkandung dalam hadits diatas tidak seperti itu. Terlebih lagi, hadits tentang dua hari raya itu bukan dalam konteks perayaan. Melainkan penegasan tentang ketiadaan hari raya lain dalam islam, kecuali idul fitrih dan idul adha.

Jadi, boleh-boleh saja merayakan Tahun Baru Islam. Sebagaimana kebolehan merayakan hari lahir Kanjeng Nabi SAW, ulang tahun kelahiran, merayakan kelulusan dan sebagainya. Anda mau yang mana..? Silahkan pilih. Ikut merayakan bagus. Anda sama dengan saya. Jadi, saya punya teman. Tidak merayakan, juga tidak apa-apa. Itu bagus juga. Karena anda punya pendirian. Disamping memang, perayaan itu tidak wajib. Alias tidak dilarang. Yang dilarang adalah, jika saya menyalahkan anda yang tidak mau. Sebaliknya juga dilarang, jika anda menyalahkan saya, karena saya antusias merayakan datangnya Tahun Baru Islam. Apalagi, hingga menghukumi saya masuk neraka, hanya gara-gara Tahun Baru Islam. Ini jelas lebih terlarang...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun