Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peradaban Teror

15 Mei 2018   20:31 Diperbarui: 15 Mei 2018   22:00 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

LAGI, dan lagi. Teroris menampilkan wajah biadabnya dua hari berturut-turut, Minggu dan Senin. Kehidmatan beribadat di tiga gereja tercabik tiga ledakan bom, belasan orang meninggal, termasuk orang-orang yang diduga kuat sebagai pembawa bom, Minggu pagi.

Malam harinya, lepas isa, bom meledak di sebuah tempat tinggal di rumah susun sewa, tak jauh dari Surabaya. Senin pagi, lagi-lagi bom meledak di gerbang kantor Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya. Lagi-lagi korban pun jatuh.

Dari Jakarta, perhatian langsung beralih ke Surabaya. Ya, belum sepekan berselang terjadi kerusuhan di rumah tahanan di tengah kompleks Brimob Kelapa Dua, Depok, tempat para narapidana dan tahanan kasus terorisme dikurung.

Lima Bhayangkara Negara gugur secara keji -- setidaknya jika merujuk pada hasil otopsi yang diuumkan polisi-- dalam pemberontakan itu. Polisi berhasil meredamnya, lalu memindahkan 155 para perusuh ke Lembaga  Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan.

Adakah kaitan antara insiden di kompleks Markas Komando (Mako) Brimob itu dengan rentetan pengeboman di Surabaya? Wallahualam, biarlah polisi melakukan tugasnya mengungkap tuntas perkara ini sehingga masyarakat memperoleh gambaran yang terang.

Ketenangan dan ketenteraman yang selama ini dirajut --setelah berulang pula dirobek aksi teror-- kembali tercabik. Kini, ditambah pula ujaran-ujaran nyinyir tak berperikemanusiaan yang berseliweran di media sosial, memperkeruh suasana.

Orang yang meyakini teori persekongkolan, mungkin menganggap insiden itu adalah satu mata rantai dari persekutuan jahat tingkat global yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran. Setidaknya, sesaat setelah insiden ini, ada negara yang langsung memperingatkan warganya agar waspada jika hendak berkunjung ke Indonesia.

Di lain pihak, orang juga makin yakin bahwa ternyata ada saja orang Indonesia yang rela mati bunuh diri sambil membunuh siapa pun --termasuk istri dan anak-anaknya--- dan sebanyak apa pun demi sesuatu yang diyakininya. Tak jelas mana yang lebih tepat.

Rangkaian insiden itu menyulut kembali kesadaran bahwa selama ini kita bertetangga dan bahkan berada di dalam 'kancah teror'. Sebab, teror tetap terjadi meski orang-orang yang disebut sebagai pelaku peledakan sudah ditangkapi dan dihukum. Beberapa di antaranya dihukum mati.

Apalagi seperti luas diketahui, sejak insiden Bali I, aparat keamanan menjadi sedemikian siaga dan ekstra sensitif. Kini pengunjung mal, perkantoran, dan hotel-hotel, sudah tak merasa terganggu lagi oleh pemeriksaan rinci sejak mereka memasuki areal parkir. Tapi, teror toh tetap terjadi.

Teror dalam bentuk lain pun, tetap marak. Jika tak dari penjahat, bisa juga dari pejabat. Bagaimana --misalnya-- mereka saling serang dan saling menjatuhkan. Tindakan mereka kadang meneror dan melecehkan akal sehat rakyat yang mereka pimpin, mereka layani, dan mereka wakili.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun