Amanah dari Desa dan Kebijakan Strategis Nasional
Dengan semangat gotong royong dan niat tulus untuk memajukan ekonomi rakyat, Koperasi Desa Merah Putih di Desa Mudik Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli resmi terbentuk pada akhir Mei lalu melalui forum Musyawarah Desa Khusus. Pembentukan koperasi ini dilandasi oleh kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa melalui pendekatan ekonomi kerakyatan. Saya pribadi merasa terhormat karena diberi kepercayaan oleh peserta musyawarah untuk mengemban amanah sebagai salah seorang pengurus koperasi.
Pembentukan koperasi ini merupakan bagian dari kebijakan strategis nasional yang didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, yang akan diresmikan oleh pemerintah pusat pada 12 Juli 2025, bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional. Sebanyak 80.000 koperasi serupa ditargetkan berdiri serentak di seluruh desa dan kelurahan se-Indonesia. Sebuah angka yang sangat ambisius sekaligus penuh harapan.
Refleksi dari Pengalaman Lapangan
Sebagai seseorang yang pernah terlibat lebih dari 19 tahun dalam dunia pemberdayaan masyarakat desa, termasuk 9 tahun terakhir sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten pada program P3MD Kementerian Desa, saya memandang inisiatif koperasi ini dengan semangat sekaligus kewaspadaan.
Pengalaman telah mengajarkan bahwa pembangunan kelembagaan ekonomi desa tidak cukup hanya dengan pembentukan administratif. Ia harus dibarengi dengan pemahaman mendalam tentang potensi dan permasalahan lokal, tantangan sosial-ekonomi, dan dukungan manajemen yang serius.
Kita Harus Belajar dari Gagalnya Banyak BUMDesa
Saya menaruh perhatian kritis, pola pembentukan Koperasi Desa Merah Putih saat ini nyaris menyerupai praktik pembentukan BUMDesa pada masa lalu: serba cepat, seragam, dan bahkan terkesan dipaksakan. Tidak semua desa punya potensi ekonomi yang sama, tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan pendekatan yang seragam. Ketika koperasi dibentuk tanpa kajian mendalam, maka risiko kegagalannya sangat besar.
Kita sudah belajar dari banyak BUMDesa, berdasarkan pengalaman saya, banyak BUMDesa yang kini tinggal nama, hanya hidup di atas kertas, tetapi lumpuh dalam praktik. Usaha tidak berjalan, kantor tidak ada, pengurus pun tak aktif. Mereka gagal menjalankan fungsinya sebagai motor penggerak ekonomi desa disebabkan oleh sejumlah faktor mendasar. Salah satu penyebab utama adalah pembentukannya yang cenderung dipaksakan, tanpa melalui kajian potensi dan kebutuhan riil masyarakat desa. Akibatnya, BUMDesa hanya hadir sebagai syarat formalitas administratif, bukan sebagai lembaga usaha yang sehat dan berkelanjutan.
Selain itu, lemahnya kapasitas sumber daya manusia juga menjadi masalah serius. Pengelola BUMDesa seringkali dipilih karena kedekatan sosial atau politik, bukan karena kompetensi dalam mengelola usaha. Banyak di antaranya tidak memiliki pemahaman dasar tentang manajemen, keuangan, dan strategi bisnis.
Kegagalan BUMDes juga tak lepas dari absennya perencanaan usaha yang jelas. Banyak yang berjalan tanpa rencana bisnis, analisis pasar, atau proyeksi keuangan yang matang. Ditambah lagi, lemahnya tata kelola dan akuntabilitas, seperti ketiadaan pembukuan yang memadai, laporan keuangan dan laporan pertanggungjawaban, membuat BUMDesa rentan terhadap penyalahgunaan dana dan kehilangan kepercayaan masyarakat.