"Kampus Bukan Lagi Pabrik Ijazah: Saatnya Melahirkan Technopreneur Muda"
Di tengah cepatnya arus revolusi industri 4.0 dan masuknya era society 5.0, dunia pendidikan tinggi di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar: bagaimana memastikan lulusan perguruan tinggi tidak sekadar mengantongi ijazah, tetapi memiliki daya saing, keberanian inovatif, dan mental wirausaha berbasis teknologi---menjadi technopreneur.
Selama bertahun-tahun, banyak kampus di Indonesia masih menjalankan sistem pendidikan layaknya pabrik ijazah: mahasiswa masuk, mengikuti kurikulum yang kaku, lulus dengan skripsi, lalu dilepas ke dunia kerja yang tidak selalu menyambut mereka. Akibatnya, kita menghadapi realitas pahit: banyak lulusan menganggur, tersesat di lapangan kerja, atau bahkan bekerja di luar bidangnya. Menurut data BPS 2024, tingkat pengangguran terbuka dari lulusan perguruan tinggi mencapai 6,18%, lebih tinggi dari lulusan SMA.
Padahal, di tengah gelombang transformasi digital dan bonus demografi, peluang bagi pemuda untuk berinovasi justru terbuka lebar. Namun potensi ini belum tergarap optimal. Sistem pendidikan tinggi kita masih minim dalam menanamkan kemampuan problem solving nyata, inovasi teknologi terapan, hingga keberanian mengambil risiko sebagai entrepreneur. Di sinilah technopreneurship menjadi jawaban relevan.
Kenapa Technopreneur
Technopreneur adalah wirausahawan yang mengandalkan inovasi teknologi sebagai basis usahanya. Contoh suksesnya tidak jauh-jauh: Gojek, Tokopedia, Ruangguru, hingga startup berbasis agritech dan edutech yang lahir dari anak-anak muda Indonesia. Mereka mampu menciptakan lapangan kerja, menjawab persoalan sosial, dan membuka ekonomi baru. Inilah puncak tertinggi pendidikan: bukan hanya mencetak pencari kerja, tetapi pencipta kerja.
Namun muncul pertanyaan penting: apakah kampus telah mendukung lahirnya ekosistem technopreneur?
Banyak kurikulum di perguruan tinggi kita masih berorientasi pada teori dan hafalan, bukan pada riset aplikatif atau solusi problem riil. Mata kuliah kewirausahaan sering kali hanya menjadi formalitas 2 SKS, tanpa diiringi dengan ekosistem inkubasi bisnis, pendampingan ide, atau koneksi ke dunia industri digital.
Lebih parah lagi, mindset sebagian dosen dan birokrasi kampus masih terjebak pada indikator keberhasilan lama: IPK tinggi dan cepat lulus. Padahal, mahasiswa yang sibuk membuat prototipe aplikasi, mengembangkan bisnis kecil berbasis AI, atau ikut bootcamp digital malah sering dianggap "menyimpang" dari jalur akademik.
Inilah ironi pendidikan tinggi kita. Mahasiswa yang kreatif, ingin menciptakan solusi dari masalah sosial berbasis teknologi, justru tidak punya ruang cukup di dalam sistem pendidikan formal.
Solusi: Reformasi Kurikulum dan Ekosistem Kewirausahaan TeknologiÂ