Mohon tunggu...
Yuli Kristiyanto
Yuli Kristiyanto Mohon Tunggu... Buruh - sedang belajar menjadi pintar

eat, drink and sleep

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pangan 2019: Memperjuangkan Nasib Tempe Kita

30 Oktober 2019   21:26 Diperbarui: 30 Oktober 2019   21:28 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dewasa ini,  kebutuhan akan pangan mengalami kenaikan , dikarenakan jumlah penduduk tidak sebanding dengan ketersediaan pangan, lagi-lagi pemerintah harus membuat kebijakan untuk impor, dalam rangka memenuhi kebutuhan. Tempe merupakan makanan ataupun lauk yang sering kita jumpai setiap hari di warung-warung ketika hendak makan. Tempe terbuat dari kedelai, akan tetapi ketersediaan kedelai nasional kita masih kurang, meskipun upaya pemerintah untuk menaikkan produksi sudah dilakukan, tentu saja masih belum bisa menutupi kebutuhan nasional kita, impor kedelai terjadi solusi.

Inovasi dalam dunia pangan diperlukan untuk mengatasi masalah pangan, pengganti bahan baku utama tempe dapat menjadi solusi, bahan pangan itu tentu harus mirip dengan kedelai, salah satunya, tetap enak dan lezat ketika menjadi bahan bahan baku tempe. Selain itu, bahan pangan tersebut juga harus bisa diproduksi secara masal dalam jumlah besar, dan secara ekonomis menguntungkan bagi produsen. Salah satu alternatif pengganti kedelai adalah koro, koro pedang (Canavalia ensiformis). Melalui pendayagunaan koro pedang, maka ketergantungan impor kedelai dapat dikurangi yaitu melakukan substitusi kedelai dengan koro pedang.

Tanaman koro pedang berasal dari benua Asia atau Afrika. Koro pedang ditanam secara luas di negara-negara yang memiliki iklim tropis seperti di India, Sri Lanka, Myanmar, China dan Indonesia. Kini, koro pedang telah tersebar di seluruh daerah tropis dan telah beradaptasi di beberapa daerah termasuk  juga Indonesia. Kacang koro pedang yang memiliki nama ilmiah Canavalia ensiformis, memiliki beberapa nama lokal, yakni koro bedog, koro bedug, koro loke, koro bendo, koro krandang, koro gogok, koro wedhung, koro kaji (Jawa Tengah), koro bakol (Jawa Barat), koro ortel, koro wedung, rakara bedung, maliki (Madura), kacang koro kayu (Sumatera), dan koro batik (Lombok), dalam bahasa kerennya biasa disebut"jack bean"  Produksi koro pedang telah mendapat dukungan dari pemerintah atau lebih tepat dari Kementrian Pertanian. Dikarenakan koro pedang merupakan tanaman yang mudah tumbuh pada lahan yang marjinal, yang toleran terhadap kekeringan dan adaptif pada lahan kering masam. Produksi dari koro pedang mencapai 4 ton per hektar, bahkan jika dilakukan budidaya secara maksimal bisa menghasilkan 20 ton per hektar, tentunya hal semacam ini bisa memberikan keuntungan bagi petani karena masa tanam dari koro pedang hanya 4 bulan dan tidak terlalu membutuhkan lahan yang subur, karena secara ekologi tanaman koro juga berguna dalam konservasi lahan. Sebagai jenis tanaman leguminaceae atau tanaman aneka kacang, perakaran dari tanaman kacang koro pedang ini dapat mengikat unsur nitrogen dari udara sehingga dapat memperbaiki tingkat kesuburan tanah.

Kacang koro cukup potensial dikembangkan mengingat sumber gizinya bermanfaat bagi kesehatan tubuh, misalnya dapat menurunkan kadar gula darah bagi penderita diabetes, menjaga ketahanan tubuh, serta menghindari penyakit jantung. Kandungan gizi pada koro relatif baik dilihat dari kandungan proteinnya yang sekitar 24 -32 %, kandungan lemak antara 3 -- 17 % dan karbohidrat sekitar 50 -- 60 %, namun demikian masih banyak orang yang belum memanfaatkan koro sebagai bahan pembuatan tempe karena di dalam koro terkandung senyawa bersifat toksik diantaranya kholin, asam hidrozianine, trogonelin, dan glukosianida dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi, namun senyawa itu  dapat dinetralkan dengan pengolan bahan yang baik dan juga benar seperti perendaman dilakukan selama 72 jam (dengan penggantian air setiap 8 jam), perebusan, pengupasan kulit biji dan difermentasikan.  

Pengolahan koro menjadi tempe memang membutuhkan waktu yang lebih lama, hal ini yang membuat para produsen tempe merasa rugi waktu dan tenaga khususnya dalam perendaman dan perebusan , karena produksi tempe kedelai lebih mudah daripada produksi tempe kacang koro pedang. Namun dengan memanfaatkan teknologi perajangan koro menjadi granul akan mempercepat penghilangan  senyawa toksin. Koro dalam ukuran yang lebih kecil   memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga  berbagai senyawa toksin lebih mudah terlarut, sehingga proses pengolahan menjadi produk makanan menjadi lebih pendek.

Bukan hanya menggantungkan kepada pemerintah saja, agar informasi mengenai kebutuhan  pangan atau pengganti kebutuhan bahan pangan berhasil tetapi juga perlu peran dari kaum-kaum terpelajar yang mampu memberikan informasi yang sesuai kepada masyarakat umum, terutama para petani, produsen dan juga konsumen. Maju kita maju Indonesia.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun