Mohon tunggu...
yulianto liestiono
yulianto liestiono Mohon Tunggu... Freelancer - perupa

Lahir di Magelang. Pendidikan terakhir ISI (Institut Seni Indonesia )Jogjakarta. Tinggal di Depok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sopo Ngiro Lukisan Jendral Chrishnanda Dwilaksana

13 Desember 2019   23:17 Diperbarui: 13 Desember 2019   23:30 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seni Rupa Kontemporer yang telah ditempatkan pada ruang mewah nan steril dengan segala perlindungan, dari banyak pihak. Sehingga, perupa yang tidak mendapat label kontemporer akan berada di luar sebagai "gelandangan seni". Menurut saya, label kontemporer yang berlaku di Indonesia saat ini adalah label yang dipaksakan untuk menggiring seniman agar masuk ke suatu tempat yang nantinya  akan diproses dan dijadikan bagian dari kepentingan pemilik ruang. 

Label kontemporer di Indonesia hanya menjadi "alat" untuk mengangkat ataupun mencampakkan karya dan seniman yang tidak diinginkan. Label kontemporer tak ubahnya seperti label "cebong atau kampret" yang difungsikan untuk menghancurkan  siapa yang dianggap lawan. Batasannya "dipelintir" seperti pasal karet --yang digunakan hanya demi keuntungan diri.

Seni rupa kontemporer yang lebih sering diterjemahkan serampangan menjadi bersifat teks dan ilustratif, sering dianggap mengutamakan "message" namun kehilangan "content", ibarat sebuah pidato atau iklan provokatif. Seni rupa kontemporer seolah digunakan untuk menyekat agar seni rupa hanya punya satu ideologi, menjadi "satu dimensi" (one dimensional), sehingga yang tidak dilabeli kontemporer, harus tersingkir, mesti terpinggir. 

Padahal seni rupa pada dasarnya bukanlah teks yang verbal namun merupakan bahasa rupa yang multi-interprestasi. Bahkan tak jarang seni rupa tak dapat dibaca atau diterjemahkan dalam bahasa tulis namun hanya dapat dirasakan dengan mata hati, batin, atau intuisi. Seni rupa mampu membuat seseorang mencintainya, meski dia tak bisa menjelaskan hal itu dengan lengkap, genap, dan tuntas tas.

Situasi seni rupa seperti ini bisa jadi akan masih berlanjut cukup lama, terutama jika mereka yang ada didalam dunia seni rupa tak mengubahnya. Efek sampingnya? Lihatlah keberadaan galeri seni rupa di Jakarta pada sepuluh atau lima belas tahun belakangan ini. Ada komplotan galeri seni rupa di mal besar di pusat Jakarta yang menambahi namanya dengan kata "kontemporer" kini sudah rata dengan lantai, pemiliknya hengkang dan ganti profesi, sementara lahannya diganti dengan pengusaha warung kopi, makanan dan sayur serta buah-buahan.

Pameran Chryshnanda Dwilaksana di Galeri Cemara 6 kali ini baik untuk memulai langkah baru membenahi seni rupa Indonesia agar lebih ramah terhadap segala segi bentuk ekspresi, utamanya yang berakar pada kearifan lokal. Hanya dengan ke-lokal-anlah kita akan mampu mengglobal. Sebab dengan hanya meng-global, kita akan kembali menjadi peniru. Mari kita baca kembali kekayaan budaya kita nan beragam untuk kita angkat ke tingkat pergaulan global. 

Kita yang di bulan Agustus 2019, telah 74 tahun merdeka sebagai bangsa, Bangsa Indonesia. Kata seorang ahli hukum, kata rekonsiliasi itu artinya kembali ke konstitusi, barangkali kata rekonsiliasi juga dapat digunakan untuk dunia seni rupa, yang harus kembali ke kodratnya yang selalu mesti kreatif, bebas demi menembus batas. Jangan lagi ada "kampret dan kecebong".

Depok 26 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun