Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama dalam cara berinteraksi dan berkomunikasi. Transformasi digital yang ditandai dengan penggunaan internet, media sosial, aplikasi pesan instan, serta teknologi komunikasi canggih lainnya telah menggeser pola interaksi sosial dari tatap muka langsung menuju interaksi virtual yang lebih fleksibel dan tanpa batasan ruang dan waktu. Fenomena ini tidak hanya mengubah cara individu berhubungan satu sama lain, tetapi juga memengaruhi struktur sosial, nilai-nilai budaya, dan dinamika kelompok dalam masyarakat modern. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana transformasi digital membentuk pola interaksi sosial dan apa dampak yang ditimbulkannya bagi kehidupan sosial secara umum.
Dampak positif dari transformasi digital terhadap interaksi sosial terlihat pada kemudahan dalam membangun dan memelihara hubungan lintas jarak dan waktu. Individu dapat tetap terhubung dengan keluarga, teman, maupun kolega meskipun berada di lokasi geografis yang berjauhan. Selain itu, media sosial juga memberikan ruang bagi komunitas dengan minat khusus untuk berkumpul dan berkolaborasi, yang sebelumnya sulit dilakukan tanpa dukungan teknologi digital. Namun, di sisi lain, intensitas interaksi digital yang tinggi dapat menyebabkan kecanduan media sosial, penurunan kualitas komunikasi interpersonal, serta meningkatnya risiko kesalahpahaman akibat minimnya isyarat non-verbal seperti ekspresi wajah dan intonasi suara.
Lebih jauh, transformasi digital juga mengubah dinamika sosial yang berhubungan dengan identitas dan eksistensi sosial. Media sosial memungkinkan individu untuk membentuk citra diri yang diinginkan melalui seleksi informasi dan konten yang dipublikasikan. Proses ini menciptakan konstruksi identitas digital yang bisa berbeda dengan identitas nyata seseorang. Perubahan ini memunculkan pertanyaan etis dan psikologis, seperti tekanan untuk tampil sempurna, fenomena "fear of missing out" (FOMO), dan dampak negatif terhadap kesehatan mental. Selain itu, interaksi sosial di dunia digital juga dapat memperkuat segregasi sosial, karena algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, sehingga mempersempit wawasan dan menciptakan "ruang gema" (echo chambers) yang memicu polarisasi masyarakat.
Dalam konteks budaya dan sosial yang lebih luas, transformasi digital turut mendorong pergeseran norma dan nilai sosial. Misalnya, komunikasi yang lebih terbuka dan transparan di media sosial menantang tradisi komunikasi formal dan hierarki sosial yang selama ini berlaku di berbagai masyarakat. Media digital juga menjadi alat bagi gerakan sosial dan aktivisme untuk menyuarakan aspirasi dan memobilisasi dukungan dengan cepat dan masif. Namun, kemudahan akses informasi juga meningkatkan risiko penyebaran informasi palsu (hoaks) yang dapat memicu konflik dan ketidakstabilan sosial.
Yulianingsih, Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Pamulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI