Mohon tunggu...
Yudo Mahendro
Yudo Mahendro Mohon Tunggu... Ilmuwan - sosiologi, budaya, dan sejarah

Alumni UNJ, belajar bersama Masyarakat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islam dan Pemilu: Tinjauan Historis di Indonesia

14 April 2021   19:53 Diperbarui: 14 April 2021   19:56 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik mengkaji hal ini, apalagi di saat tahun politik menjelang pemilu tahun 2019. Di salah satu group sedang ramai dibahas, apakah perlu kita ikut pemilu? Toh selama Indonesia merdeka Islam tidak pernah mendapatkan tempat strategis dalam kepemimpinan nasional. Acap kali umat Islam yang mayoritas justru kerap terpinggirkan. Penetapan UU Ormas misalnya, yang dianggap mengembalikan spirit azas tunggal Pancasila di era orde baru. UU ini jelas membatasi ruang gerak beberapa ormas Islam seperti HTI dan FPI yang dianggap bertentangan dengan prinsip dasar bernegara kita, Pancasila.

Teman-teman di HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) masih bersikukuh untuk tidak ikut pemilu. Bagi mereka, pemilu bukanlah jalan yang sesuai untuk menegakan Islam. Islam sebagaimana sejarahnya di masa Nabi Muhammad, dibangun dari luar pemerintahan, sehingga tidak tercampur dengan sistem liberalism yang kental dalam mekanisme demokrasi. Itu jelas bertentangan dengan Islam. Islam sebagai suatu sistem harus dibangun dengan metode kenabian, revolusi sistem secara damai.

Teman-teman yang lain, berpandangan bahwa pemilu ialah momentum bagi umat Islam untuk memenangkan kepentingan Islam, melalui partai-partai Islam. Dengan dukungan yang besar, kelompok Islam akan mendapatkan posisi tawar yang besar, sehingga memiliki posisi strategis dalam arah pemerintahan nasional yang baru.

Islam Indonesia itu Kompleks

Albert Hourani membagi kelompok Islam menjadi tiga, tradisionalis, revivalis, dan modernis. Kelompok yang pertama, ialah mereka yang mengedepankan pengajaran Islam melalui pendidikan tradisional, mereka membatasi diri dari dinamika pemerintahan dan ekonomi yang terus berkembang dan mempertahankan berbagai tradisi yang ada. Kedua, ialah kelompok yang ingin mengembalikan kejayaan Islam dengan secara murni, mereka menolak tercampur dengan berbagai pemikirian yang baru, yang sebagian besar berasal dari barat, seperti kapitalisme, komunisme, dan juga demokrasi. Ketiga, ialah kelompok yang kontekstual, mereka mengakomodir pemikiran barat terutama dari sisi pendidikan dan juga politik.

Kadang ada yang kita lupa, bahwa dinamika Islam di Indonesia itu sangatlah kompleks. HAMKA pernah minta Izin kepada Agus Salim untuk belajar Islam ke Timur Tengah, lalu Agus Salim menjawab "kalau kamu mau jadi ulama ya silahkan saja belajar ke sana. Tapi kalau mau jadi Islam yang intelek lebih baik kamu belajar sama saya", akhirnya HAMKA pun menurungkan niatnya pergi, ia belajar kepada Agus Salim. Ini cukup menarik, karena Agus Salim sebagai salah satu tokoh Islam modernis awal di Indonesia mengetahui betul dari perjalanannya ke Timur Tengah bahkan Eropa, dinamika Islam di Indonesia ini lebih kompleks dibandingkan dengan di wilayah manapun. Pertama, ialah karena posisi Indonesia merupakan titik yang paling jauh dari Hijaz, selain itu kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia cukup beragam. Kedua, dimasa pergerakan nasional, para pendahulu kita sudah berdialektika dengan berbagai macam jenis paham, mulai dari nasionalisme, komunisme, dan juga liberalism.

Jalan Cokroaminoto

Mencoba mengingatkan kembali sejarah awal bangsa ini, Cokroaminto sebaga salah satu guru bangsa yang signifikan membangun umat dan bangsa. Ia memiliki jalan yang terjal untuk mengangkat Islam menjadi domain politik di era kolonialisme. Melihat minimnya pendidikan masyarakat dan dalam upaya mempersiapkan pemerintahan sendiri ia pun menggabungkan keduanya. Pada waktu itu, ia menggerakan semua kemampuan organisasi untuk melakukan dua hal, pendidikan/dakwah dan politik. Dua hal yang sulit disatukan, mulai dari Al Afgani dan Abduh.

Dakwah dan politik sangat mungkin disatukan, meskipun melalui jalan terjal. Saya tidak perlu membahas sejarah SI di sini karena sudah banyak buku/dokumen yang dapat menjelaskannya. Namun, substansinya ialah dengan sinergi dua gerakan itu, SI dapat menciptkan banyak kader yang kompeten di pemerintahan. Bahkan sempat Islam Indonesia memilik satu partai saja Masyumi, meskipun usianya tidak bertahan lama.

Perpaduan dua gerakan itu ialah sinergi antara teori dan praxsis. Umat Islam yang awalnya terpinggirkan pada masa itu akhirnya mampu memainkan posisi stategis. Bahkan di saat negara yang usianya masih sangat muda mampu menjadi kekuatan baru, gerakan non-blok, dan menjadi tuan rumah konfrensi Asia Afrika yang menginspirasi banyak negara untuk mempu beridiri di kaki sendiri. meskipun pada akhirnya, Masyumi dibubarkan dan politik Islam jauh mengalami kemunduran.

Pentingnya Praxis/Praktek

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun