...Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar...
Bait puisi Peringatan dari Wiji Thukul, di tahun 1986 itu, masih relevan dalam kondisi kebaruan sosial politik kita saat ini.
Mural kini menjelma seolah menjadi pokok masalah baru. Dinding tembok pagar menjadi ruang ekspresi publik untuk menyampaikan pendapat.
Ruang publik yang kian terbuka, rupanya menjadi sebuah persoalan. Persis sebagaimana larik puisi di atas, sudah semestinya pemangku kuasa membangun sensitivitas untuk mampu merasakan masalah publik -sense of crisis.
Titik tekan masalah bisa semakin membesar bila pembungkaman terjadi, alih-alih menciptakan ruang dialog serta menangkap makna tersembunyi dibalik mural yang ditampilkan.
Bila pemberangusan dan perburuan justru dilakukan, atas nama ketertiban dan keteraturan, maka persepsi publik bisa berbalik. Terkonstruksi kuasa yang anti kritik.
Sebagai bentuk seni jalanan -street art, mural mengambil wilayah berbeda dari graffiti maupun vandalisme. Konsep mural mengkombinasikan seni dengan abstraksi pendapat publik.
Di posisi yang berbeda, mural menjadi indikasi tindak laku moral sosial. Pandemi memang menghadirkan situasi nestapa, baik di bidang ekonomi ataupun masalah kesehatan publik.