Sebuah survei tidak terbebas dari suatu kepentingan, dan cara untuk keluar dari perangkap manipulasi atas hasil, diperlukan kemampuan untuk melepas subjektivitas.
Elemen salah dan keliru yang termuat dalam indikator error, kerap kali menjadi sumber diskusi yang menarik, dan percakapan di ruang publik atas hasil survei tersebutlah yang melengkapi tujuan dari keberadaan survei itu sendiri.
Persepsi tim survei disebarluaskan, tentu saja tidak hanya menyoal hasil temuan yang diperoleh, tetapi sekaligus menyertakan bobot tafsir dari hasil temuan tersebut yang secara lentur dan fleksibel bisa dikonstruksi sesuai kehendak peneliti.
Ongkos Survei
Pada era pemilihan politik secara langsung, maka bertambah pula jumlah lembaga survei politik. Kerjasama antara aktor dan momen politik, dengan lembaga survei sering terjadi dengan kontrak tim konsultan pemenangan.
Tentu harus disadari bila sebuah survei adalah serangkaian kegiatan yang membutuhkan usaha untuk melakukan pengambilan data responden, jelas memerlukan pembiayaan.
Dalam posisi sebagai konsultan pemenangan, yang fungsinya diperuntukkan bagi upaya memenangkan kontestasi politik, maka survei dipergunakan sebagai salah satu cara untuk mengukur sekaligus mengkonstruksi elektabilitas.
Sedangkan bila berposisi sebagai petahana yang berkuasa, sebuah survei menjadi ukuran atas penerimaan publik maupun menjadi sarana legitimasi statistik untuk mengambil suatu kebijakan.
Tidak mengherankan bila dalam era pandemi, sekonyong-konyong, muncul survei yang mengukur dukungan politik bagi para pengambil kebijakan. Motif surveinya tentu bisa dipertanyakan.
Apalagi bila informasi pendanaan survei tidak dibuka ke publik, dengan keterangan, (i) apakah bersifat independen, (ii) ataukah merupakan kerjasama bersponsor, maka bisa terjadi bias kepentingan.Â
Publik perlu mendapatkan keterangan informasi tersebut, agar mampu melihat relasinya dengan hasil kesimpulan survei yang dibuat.