Sedangkan di negara demokrasi, perangkat pengambilan keputusan harus beranjak pada kesepakatan di ruang diskusi publik.Â
Demokrasi yang dimaknai dalam bentuk partisipasi dan kebebasan, membuat proses konsensus berjalan sangat dinamis.
Apakah dengan begitu demokrasi menjadi tidak lagi relevan?
Kesimpulan yang nampak sejalan dengan pemikiran Slavoj Zizek, 2020 dalam melihat wajah pandemi sebagai sarana uji coba atas gagalnya sistem barbarisme ekonomi global, yang menghadirkan tawaran baru dari model kehidupan bernegara, dengan konsep sentralisasi kerangka produksi dan distribusi.
Lagi-lagi pertanyaannya, benarkah premis tersebut? Kita perlu memahami lebih jauh persoalan yang terselubung.Â
Posisi awalnya membenarkan bahwa pandemi membutuhkan ruang gerak negara sebagai bentuk intervensi dan kehadiran untuk menstimulasi aktivitas publik secara berkelanjutan.Â
Kondisi ini memungkinkan sebuah negara untuk terjerumus pada ide otoritarian. Tanpa adanya saran, masukan dan kritik, semua dapat dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan darurat yang mendesak.Â
Keselamatan publik adalah hal penting, meski harus dibedakan keselamatan dalam arti luas bagi publik menyangkut aspek jiwa dan raga, atau dalam kacamata dan ukuran kekuasaan yang berbicara angka-angka.
Karena itu pula, jika berkaca pada penanganan pandemi domestik, aspek politik di masa pandemi mengental dalam rangka transaksi kekuasaan.Â
Ambil contoh, kontestasi politik pilkada tetap dilanjutkan di tengah pandemi, sementara seluruh aktivitas publik lainnya justru dipaksa berhenti.
Masih belum cukup? Lihat saja perilaku lancung korupsi dana bantuan sosial dan berbagai kasus OTT KPK sepanjang tahun pandemi.Â