Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Arena Digital, Gagalnya Disintermediasi Agenda Publik

10 November 2020   15:46 Diperbarui: 11 November 2020   14:07 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi saling sering di media sosial. (sumber: KOMPAS/TOTO S)

Tetapi interaksi yang dibangun bersifat natural dengan menempatkan para influencer sebagai tokoh pemberi pengaruh terverifikasi, yakni para politisi pendukung kedua kandidat, baik Trump maupun Biden. Meski begitu, misinformasi hingga hoaks pun marak dipergunakan untuk menyerang posisi antar kandidat.

Kuasa Oligarki Media

Kembali mengutip hasil temuan Ismail Fahmi tersebut, diketahui media sosial pada Pilpres Amerika mampu menjangkau secara luas audiens serta melintas wilayah mengatasi persoalan pandemi. 

Ini sekaligus memperlihatkan bagaimana peran suara publik -voice, dalam riuh rendah dan hiruk pikuk -noise kampanye yang penuh distrosi serta berlimpahnya informasi tersedia.

Hal tersebut, mengingatkan kita pada temuan penelitian Kuasa Media di Indonesia, Ross Tapsell, 2018 yang memotret bagaimana relasi media mainstream di Indonesia dalam sudut pandang yang berbeda dari kehadiran media sosial sebagai produk revolusi digital, pada ruang politik kontestasi Pilpres 2014. Periode tersebut menghadirkan aktor Jokowi dan Prabowo yang kemudian berulang pada Pilpres 2019.

Kajian Tapsell seolah memperlihatkan ruang media menjadi arena setara yang demokratis bagi seluruh aktor politik, karena daya persuasi media konvensional sudah tidak lagi sesuai dengan karakter khalayak pada era perkembangan teknologi dan jamannya. 

Kemenangan Jokowi pada 2014 membuktikan dukungan publik terungkap pada wacana yang mengalir di media sosial. Kekuatan kandidat yang diunggulkan adalah kemampuan secara retorika untuk membentuk citra yang populis, meski tidak terliput oleh mayoritas media mainstream karena telah bersifat partisan.

Sayangnya, Tapsell belum menyelesaikan penelitian untuk Pilpres 2019, tetapi dalam artikel tirto Pemilu 2019: Polarisasi Medsos atau Ideologis? pada Rabu (4/11/19) Tapsell menyebut kondisi landsekap politik telah berubah, sehingga cara membaca relasi media dan media sosial serta aktor politik di 2014 tidak lagi berlaku pada Pilpres 2019.

Keberadaan media sosial mengentalkan perbedaaan sehingga semakin menguatkan proses polarisasi. Lebih jauh lagi.

Jokowi bertindak sebagai petahana bukan lagi new comer sebagaimana 2014, dan pada Pilpres 2019 kelompok oligarki media menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari medium kampanye Jokowi sebagai incumbent. Dengan begitu, media sosial kembali berada dalam subordinasi dalam kerangka kemampuan persuasi media mainstream.

Ruang Tanpa Mediator

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun