Judul di atas, disadur dari novel karya Mochtar Lubis berjudul Harimau, Harimau, 1975, yang disesuaikan dengan lingkup pandemi saat ini, lantas dipadankan dengan karya bukunya Manusia Indonesia, 1977.
Buku-buku itu bisa dipinjam secara digital, di Perpustakaan Nasional via daring. Pemberlakuan pembatasan sosial, mengharuskan semua terkonversi digital. Disaat semua toko buku fisik ditutup, penjualan dan peminjaman buku digital menjadi alternatif model yang menjawab kebutuhan para penikmat buku.Â
Hingga pada akhirnya, buku-buku karya Mochtar Lubis pun dipinjam melalui aplikasi Perpusnas, hanya dengan mengunduhnya di gadget. Klik di layar gawai pintar, lalu softcopy buku pinjaman tersimpan. Semudah itu.
Kembali ke pokok soal, Mochtar Lubis, bagi Anda yang belum mengenalnya, adalah sosok jurnalis dan sastrawan Indonesia, yang hidup dengan spirit jurnalisme di era kemerdekaan. Dikenal sebagai pemimpin harian Indonesia Raya.
Menariknya, Mochtar Lubis, dalam buku lain yang ditulis David T Hill, Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang, 2011, digambarkan sebagai sosok yang tak gentar berhadapan dengan kekuasaan.
Dalam pandangan kekuasaan, Mochtar Lubis menjadi antitesis kuasa. Bertindak sebagai pihak yang membuka ruang dari tabir gelap politik. Jurnalisme memainkan peran sebagai penyeimbang kekuasaan. Mochtar pada persepsi pemangku kuasa layaknya, duri dalam daging, dibutuhkan meski menyakitkan.
Harimau Sebagaimana Wabah
Membaca novel Harimau, Harimau, layaknya membayangkan apa yang ada dalam alam pikiran Mochtar, tepat pada situasinya saat itu. Jenis novel ini, mungkin lebih tepat disebut sebagai sastra perlawanan, dalam konteks bahwa narasi dalam teks novel tersebut, memang disusun untuk mengilustrasikan kritik pada kekuasaan dan interaksi sosial politik kita.Â
Kisah tentang para pengumpul damar di hutan, yang harus berhadapan dengan ketakutan pada harimau. Para pemburu itu, merepresentasikan wajah dari karakter sosial kita, yang berbagai ragam. Sementara, harimau diibaratkan sebagai keburukan yang hendak dihindari, sebagaimana wabah yang saat ini kita hadapi sebagai pandemi.
Disisi lain, dalam jejalin relasi serta struktur sosial, kita memahamkan fungsi kepemimpinan dan kekuasaan yang dimainkan. Tokoh cerita semacam Wak Katok, yang menjadi pemimpin rombongan, ternyata lebih mengedepankan egoisme individualnya, bermain aman, berbekal senjata yang dimiliki, berpikir tentang diri sendiri.
Para pemimpin, bahkan bisa lebih buas dari harimau, dengan kekuasaan digenggamannya. Kisah ini, tampak mendekati realitas bukan? Ketika ancaman dari luar datang, sebagaimana pandemi, kalkulasi dibuat dan strategi disusun, tetapi siapa yang diuntungkan? Seperti Cicero yang selalu menyebut Cui Bono.