Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Konspirasi dan Hiperealitas Pandemi

2 Mei 2020   06:14 Diperbarui: 2 Mei 2020   06:16 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Realitas di atas realitas, menghadirkan realitas baru. Realitas yang terjadi ini, adalah hasil campur aduk antara yang fakta dan faktoid -diyakini sebagai seolah-olah kebenaran. Sosial media yang tidak terverifikasi, memegang peran dan ikut andil dalam kekacauan tersebut.

Kini dengan sekejap mata, viralitas berita mudah terjadi, dalam hitungan detik menjangkau lokasi sedemikian jauh, karena bentuk masyarakat jaringan yang disebabkan koneksi teknologi internet. Kondisi tersebut menciptakan half truth atau kebenaran setengah, tetaplah tidak mencerminkan fakta, bisa juga disebut half lies -setengah bohong.

Dalam pandangan Jean Baudrillard, filsuf kontemporer, hiperealitas merupakan ruang simulasi, yang menggantikan realitas sebenarnya menjadi ilusi kebenaran. Istilah citra mengemuka, sebagai bagian dari perangkap dari situasi hiperealitas.

Maka dalam pandemi ini, kita belum sampai pada substansi realitas, ketika hanya membicarakan citra semata pada apa yang tampak terlihat. Lebih jauh Baudrillard mengemukakan, sekurangnya ada beberapa kondisi yang menjelaskan sebuah citra.

Keberadaan citra, diantaranya; (i) merefleksikan realitas, (ii) memutar balik realitas, (iii) menutupi realitas, hingga (iv) tidak berhubungan dengan realitas itu sendiri.

Jadi, bagaimana memahami pandemi dalam sudut pandang konstruksi hiperealitas? Boleh jadi anda telah masuk dalam perangkap simulasi. Termasuk pada soal mempercayai konspirasi, sebagai jawaban atas situasi pandemi.

Bukankah media berperan mengkonstruksi hal tersebut? Tentu saja, terlebih bila konsumsi media yang rutin dilakukan adalah pada media yang tidak melakukan proses kurasi dan verifikasi. Sosial media saat ini menghasilkan keberlimpahan informasi, dan tsunami sampah digital berisi kebohongan.

Situasi overload informasi terjadi di jagat maya, membutuhkan kesadaran rasional. Tingkatkan kemampuan literasi, untuk memilih dan memilah informasi yang disuguhkan. Check fact, itu dasarnya.

Tapi sekali lagi, ruang digital memang menggunakan algoritma filter bubble atas kegemaran pada tema tertentu. Lalu keyakinan itu diamplifikasi, mengalami penguatan pesan dalam format ruang gaung -echo chamber. Resonansi emosi tercipta, membentuk homogenitas serta mengelompok.

Semakin meyakini hal tersebut, maka semakin dalam jerat perangkapnya. Maka kita kemudian gagal untuk memahami realitas yang sebenarnya, karena kita tengah berada di ruang simulasi. Citra yang mengelilingi kita, sudah terlepas dari realitas.

Satu-satunya jalan keluar dari jebakan tersebut, adalah dengan membangun kemampuan berpikir kritis, agar kita tidak menjadi manusia satu dimensi sebagaimana Herbert Marcuse, filsuf Mazhab Frankfurt, yang menyebut bahwa manusia modern telah kehilangan kemampuan, untuk menguatkan daya nalar dan rasionalitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun