Beda dulu, lain sekarang, demokrasi via internet menjadi sebatas klik diujung mouse, menjadikannya sebagai klikokrasi yang rendah dalam intensitas emansipasi. Ketiadaan perbincangan atas diskursus secara mendalam, terutama pada situasi kebebasan pasca reformasi. Transisi demokrasi kehilangan daya progresifnya.
Sosial Media, Ruang Tak Berujung
Transformasi teknologi melahirkan sosial media sebagai bentuk dari upaya membangun komunitas online yang selalu terhubung -always update. Setiap individu memiliki ruang untuk menyampaikan ekspresi privat dilini masa milik publik. Maka riuh rendah serta hiruk pikuk terjadi di sosial media.
Bermunculan aktivis sosial media, minim dalam kemampuan menjawab persoalan publik, tetapi tersohor karena viralitas yang sensasional, lalu menjadi penentu sebagai opinion leader berbekal sejumlah besar followers.Â
Lantas muncul post truth yang mencoba melihat efek ruang gema -echo chamber. Like and share menjadi kemampuan untuk mengamplifikasi pesan yang terkonstruksi, bahkan bisa jadi tanpa seleksi. Algoritma komputasi sebagai bahasa pemrograman terjadi dengan menggunakan filter bubble, sebagai sarana sortir berdasarkan ketertarikan -interest.
Partisipasi yang terlibat di permukaan, mudah mengalami pendangkalan. Kungkungan informasi tidak terfilter, dikonsumsi secara berlebihan. Hiperrealitas terbentuk, realitas semu ditampilkan, dan kita berkubang didalamnya.Â
Adopsi teknologi menuju adaptasi sosial, sekurangnya membutuhkan waktu 20-30 tahun, dengan melewati periode chaos ditahap awal menuju titik keseimbangan, tetapi tentu kita tidak berharap fase yang penuh kekacauan berlangsung terlalu lama, perlu ada kesepakatan dan kesadaran bersama.
Pada ruang tidak berujung sosial media, maka kebenaran realitas terdapat pada persepsi publik. Upaya mengatasi disinformasi, tidak bisa dituntaskan dalam perspektif tunggal dengan penegakan aturan legal secara struktural, tetapi juga memperbaiki aspek kultural. Model literasi menjadi penting, pusat-pusat ilmu harus tampil mendigitalkan dirinya agar memudahkan akses publik akan literatur kredibel yang terpercaya.Â
Tentu saja agar demokrasi tidak keluar dari jalurnya. Perlu dikhawatirkan, keterbelahan politik publik sebagaimana saat ini malah memundurkan demokrasi, terlebih bila kemudian narasi regulasi diperkuat dengan model represi, melebihi kebutuhan edukasi dan diskusi publik sebagai sarana pencerdasan sekaligus pencerahan.Â
Sekali lagi, it's about a man behind the gun! Bukan senjata yang salah, aspek manusianya yang harus dibenahi agar senjata hanya akan sekadar menjadi alat pelindung, bukan sebagai sarana mematikan nalar publik.