Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Narasi Oposisi dan Prasangka Politik

26 Februari 2019   14:08 Diperbarui: 26 Februari 2019   14:25 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

TERJEPIT! Posisi oposisi yang berseberangan dengan kekuasaan, dengan mudah menjadi sasaran tembak prasangka. Politik berbicara tentang dominasi serta kekuasaan. Dengan demikian, kelompok oposisi memang bertindak sebagai penantang, terhadap penguasa lama alias petahana. Oposisi asal katanya opposite, bermakna yang berlawanan, sehingga bertindak sebagai oposan.

Padahal mengeliminasi peran oposisi, justru menyebabkan kekuasaan tergelincir pada situasi otoritarianisme. Sehingga keberadaan oposisi, adalah jembatan kesetimbangan bagi kekuasaan, dimana terdapat upaya untuk menjaga, sekaligus mengawasi kerja kekuasaan. Dalam demokrasi, peran oposisi menjadi bagian penting dari upaya merawat nalar publik dari hegemoni nalar penguasa.

Kebekuan oposisi adalah indikasi dari kemunduran demokrasi. Justru peran oposisi harus dilembagakan, sekaligus merupakan penyeimbang narasi. Disisi lain, kekuasaan tanpa kontrol, berpotensi sebagai ancaman bagi kepentingan publik itu sendiri, maka paripurna tugas oposisi, untuk menjadi kontra narasi atas logika kekuasaan. Dengan demikian, oposisi bukan sekedar barisan sakit hati.

Menariknya, pada peta pertarungan politik kali ini, dalam wujud nyata Pilpres 2019, kita justru melihat situasi yang anomali. Kekuasaan bersikap ofensif, bahkan secara aktif mendesak oposisi. Sebagai sebuah strategi hal ini dapat dipahami, tetapi keluar dari kelaziman model yang secara normal kerap terjadi.

Pada kasus kompetisi politik, dalam posisi berhadapan incumbent dan penantang, situasinya kerap menempatkan kelompok oposan untuk menggunakan tipe attacking campaign. Tapi kali ini berbeda dan menarik, karena mekanisme aksi-reaksi sedemikian hebat terjadi, dan posisi petahana aktif bahkan terbilang sangat responsif, atau jatuh pada tindakan super reaktif. 

Sekali lagi, sebagai metode pemenangan pada sebuah pertandingan tentu saja tidak ada yang salah. Meski kemudian hal tersebut dapat berpotensi melemahkan daya kritis oposisi, tetapi sekaligus menandakan bahwa posisi penantang harus memiliki mental bertanding yang lebih baik, karena tahap kompetisi adalah ujian awal memasuki kursi kekuasaan.

Hoaks dan Prasangka

Over sensitif! Dalam tahun politik semua hal diukur dan dinilai dalam kerangka politik. Terlebih karena kita juga secara bersamaan, beranjak ke dalam satu fase kehidupan baru yakni ranah sosial di dunia digital. Kehadiran internet menstimulasi berbagai hal dari aspek positif hingga potensi negatif. Dan kita tengah beradaptasi dengan kondisi tersebut.

Salah satu yang kemudian muncul sebagai kajian adalah daya rusak persebaran berita palsu. Kategorinya juga meliputi potensi berita kurang lengkap, berita bias interpretasi, hingga berita bohong termanipulasi. Dalam hal tersebut, sebuah berita yang memuat informasi, harus dapat dipastikan utuh, jelas terverifikasi sumber serta arah tujuannya.

Saat misinformasi berubah menjadi disinformasi, lalu berkembang sebagai opini publik, maka hoaks adalah jelmaan dari berita bohong yang sarat kepentingan. Di dalam hoaks, fakta dan realita terlampaui. Tantangan tersebut menghebat, bersamaan dengan abad informasi melalui teknologi komunikasi. Internet memfasilitasi jejaring sosial secara maya.

Kemudian realitas dalam jagad online berpadu dalam bentuk yang seolah-olah, kita mengenalnya sebagai virtual reality sebagai bentuk proyeksi virtual dari realitas. Kini, lambat laun, kita kemudian justru terperangkap dalam reality virtual, kenyataan yang fantasi. Imajinasi ditangkap sebagai kebenaran, karena setiap hari kita mengkonsumsi kepalsuan. Ilustrasi ini yang dinyatakan Baudrillard sebagai hiperrealitas, sebuah situasi yang terlepas serta melampaui kebenaran, dalam dunia simulasi alias simulacra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun