Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Darurat Kacamata Kuda terhadap Kasus Pelecehan Seksual

16 November 2018   09:51 Diperbarui: 17 November 2018   09:00 1713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: lifestyle.kompas.com

Ketidakadilan, kerap kali terjadi bukan disebabkan karena mekanisme hukum tidak memberikan ruang bagi terciptanya keadilan itu sendiri, tetapi juga dikarenakan ketidakhadiran kebijaksanan di sana. Mengapa demikian? Sejatinya hukum adalah aturan yang bersifat hitam putih, tanpa tedeng aling-aling, berlaku sama untuk semua, karena dihadapan hukum semua individu adalah makluk yang sama-sama terikat, serta mengikatkan dirinya untuk taat, tunduk dan patuh atas peraturan-peraturan yang telah disepakati menjadi acuan dalam mengatur perikehidupan kita.

Kisah ketimpangan keadilan yang dirasakan oleh Agni mahasiswi UGM yang menjadi korban pelecehan seksual, dan juga termasuk Nuril seorang guru di NTB yang justru harus merasakan jeruji sel, karena dianggap bersalah menyebarkan rekaman percakapan, dari pernyataan perilaku oknum yang menggunakan kekuasaan demi kepuasan seksualnya, adalah bentuk absennya pertimbangan secara bijaksana dalam memahami kasus tersebut.

Kacamata dalam pendekatan hukum secara prosedural, hanya akan menghasilkan bentuk keadilan administratif dan bukan keadilan yang sesungguhnya. Pelapor yang kemudian terlebih dahulu menggunakan hak hukumnya, belumlah tentu pemegang kebenaran mutlak. Cermat dan berhati-hati, harusnya menjadi panduan dalam menimbang persoalan, sebelum menjatuhkan keputusan. Dalam kerangka berpikir, kita memiliki nalar dan logika yang tidak bisa dilewati begitu saja.

Maka kemudian logika dan rasionalitas kita menjadi terusik, ketika persoalan Agni dan Nuril mencuat ke permukaan. Ada yang tidak beres pada hulu persoalan hukum kita. Bagaimana kemudian perspektif penanganan hukum justru tidak sensitif, terhadap orientasi dan kepentingan korban. Menempatkan siapa yang menjadi korban atas siapa, itu menjadi penting dengan melihat posisi terlemah yang ada dalam struktur relasi keterhubungan pelaku dan korban.

Gender dalam Perkara Seksual

Kita masih belum menyoal tentang gender, yang kerap kali diabaikan dalam melihat konteks keterkaitan sebuah kejadian pelecehan seksual, antara pelaku dan korban. Lalu, jika demikian apakah sang pelaku juga merupakan korban? Mengapa justru keadilan hadir bagi pihak pelaku? Tengok premis yang lantas menjadi dasar, bagi ketertundukan korban, pada kasus Agni di UGM seolah ada upaya mengkonstruksi bahwa stimulasi pelecehan terjadi, laksana "kucing dapur bertemu ikan asin".

Tentu hal ini bukan main-main, setidaknya ada nalar yang cacat dalam jawaban tersebut. Pertama terkait dengan ketidakmampuan mempertahankan ego biologis -libido, dan kedua, posisi korban tentu saja adalah yang merasakan dampak buruk dari tindakan pelecehan seksual yang terjadi. Sementara, pelaku yang kemudian playing victim karena situasi, yang seolah-olah membuatnya tidak dapat menahan gejolak seksual, adalah"korban" dari ketidakmampuannya mengatur fungsi kelaminnya.

Kita lalu berpindah pada kasus Nuril, harus dipahami ancaman dapat dimaknai dalam tindakan langsung maupun tidak langsung. Pernyataan dan perkataan, adalah bentuk dari ancaman verbal, bukan tidak mungkin berubah statusnya menjadi aktivitas fisik sebagai ancaman yang aktual. Dengan demikian, tindakan perekaman yang dimaksudkan untuk melakukan self defense mechanism, adalah alat bantu yang efektif dalam menghadapi potensial predator seksual, terlebih yang berkuasa.

Jika demikian, mengapa Nuril justru dinyatakan bersalah, atas laporan yang berasal dari pihak yang menganggap dirinyalah yang menjadi "korban" karena tersudutkan, sebagai akibat dari terjadinya penyebaran informasi dalam rekaman percakapan tersebut? Bukankah hal itu justru dapat menjadi warning sekaligus menjadi upaya untuk meningkatkan kewaspadaan bagi sejawat Nuril? Toh ternyata terbukti dalam fakta persidangan, bukan Nuril yang secara langsung menyebarkannya? Terlebih dikabarkan sang oknum, justru mendapatkan promosi jabatan dan tidak dikenai sanksi.

Berkaca pada perspektif gender, maka memang posisi seorang perempuan akan berhadapan dengan tantangan yang berganda dalam dunia yang lebih bersifat maskulin. Perempuan tidak lepas dari strereotype untuk menjadi pihak yang pasrah, lemah dan menerima, pun termasuk soal pelecehan seksual. Bentuk akhir penyelesaian biasanya kompromi damai, dengan anjuran bagi sang perempuan untuk lebih menjaga penampilan dan perilaku yang memenuhi tata karma. Resolusi ini biasanya dapat diterima, meski menyisakan persoalan baru terkait equality dalam prinsip kesetaraan.

Membedakan Korban dan "Korban"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun